Saya Harus Ngurus Negara

Jumat, 28 November 2014 – 13:37 WIB
Nusron Wahid. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - MASIH muda. Tapi pria kelahiran Kota Kudus 12 Oktober 1971 ini sudah matang di dunia politik, juga di organisasi kemasyarakatan.

Nusron Wahid adalah Ketua Umum GP Ansor, sebuah ormas kawakan yang punya basis keanggotaan cukup mengakar.

BACA JUGA: Kini, Golkar Partai Sekoci

Di masa pertarungan pilpres, politikus Partai Golkar itu juga ikut "berkeringat" untuk pemenangan Jokowi-JK.

Tapi cukup mengagetkan tatkala dia mendapat "balas jasa" berupa kursi Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Maklum, kiprahnya dalam urusan TKI yang sarat masalah itu belum pernah terlihat di publik.

BACA JUGA: Kejaksaan Harus Sekuat KPK

Apa dan bagaimana Nusron Wahid menjalankan tugas barunya di BNP2TKI? Berikut petikan wawancara sejumlah wartawan termasuk wartawan JPNN Natalia Laurens dengan Nusron di kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis, (27/11)

Anda memutuskan masuk pemerintahan, lalu bagaimana dengan karir politik di parlemen?

BACA JUGA: Penyelesaian Mirip Sandiwara

Saya sudah harus mundur dari DPR. Pesannya Pak Jokowi, saya udah tidak boleh cawe-cawe politik. Saya harus ngurus negara. Saya sudah kirim surat ke Pimpinan DPR. Terserah nanti partai yang mana yang mengesahkan.

Hari-hari pertama bekerja, apa rencana anda?

Dalam rangka perlindungan nanti kita akan membuat model early warning system. Yaitu bagaimana kita bisa deteksi dini day-per-day, early time kondisi TKI di luar negeri itu. Apakah dia sehat, produktif, gajinya dibayar utuh atau tidak. Saya belum bisa komentar case per case karena baru dilantik. Secara umum dulu lah kita bicara soal penguatan perlindungan dengan deteksi dini. Selama ini belum ada semacam monitoring yang continue.

Bagaimana caranya perlindungan TKI dan pengawasan yang efektif?

Belum ketemu. Apakah nanti kita buat pola semua TKI laporkan nomor handphonenya dan kita kasih dengan provider di Indonesia. Tapi intinya semua harus digital. Mereka kerja di Korea, Hongkong, Arab Saudi, Taiwan semua kan sudah kenal digital semua.

Apakah untuk pemantauan itu akan dibuat tim khusus?

Enggak. Kita belum bicara tim khusus. Sudah banyak instrumen, ada Telkom, ada Menkominfo, ada apa, tinggal kita replik aja. Antara satu pemerintahan kan harus saling koordinasi. Tidak usah membuat barang baru.

Perubahan apa lagi yang akan dilakukan untuk TKI?

Kita akan mencoba melakukan berbagai perubahan-perubahan model bisnisnya yang dalam konteks penempatan. Saat ini sama-sama kita ketahui TKI yang mau berangkat itu nasibnya kasihan sekali. Untuk berangkat itu harus datang ke 22 loket, dengan waktu yang panjang dan membutuhkan biaya yang tinggi. Nah kita ingin bagaimana para TKI ini sebelum berangkat itu gampang prosesnya, murah biayanya.

Contohnya konkritnya bagaimana?

Sebetulnya sudah ada percontohan di Lombok one stop service pelayanan kesehatan, polisi, imigrasi itu dalam satu kanal. Nah ini akan kita replika ke berbagai tempat secara nasional. Kan ada beberapa titik itu dalam fungsi-fungsi pelaksanaannya.

Apa yang diharapkan dari TKI yang bekerja di luar negeri jika kembali ke tanah air?

Syukur-syukur kalau dia balik ke tanah air dari luar negeri dia enggak balik ke sana lagi. Dia bisa wiraswasta di sini. Atau dengan adanya transfer tech and culture kemudian diberlakukan di sini. Dia bisa kerja di sektor-sektor formal di sini.

Terakhir, bagaimana BNP2TKI mengatur perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia swasta (PJTKS) bermasalah?

Kita harus klasifikasi masalahnya. Memang idealnya PJTKS itu kita buat rating seperti bank. Ini kan ujung-ujungnya service jasa kan. Complience itu kan kalau ada rating. Nah yang tidak prudent itu masuk dalam ranah kawasan khusus. Kalau di bank itu yang berdampak sistemik. Jadi kita harus klasifikasi dulu masalahnya masing-masing. ***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rela Cuti Kuliah demi Promosikan Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler