Saya Ikhlas Masuk Neraka

Selasa, 03 Agustus 2010 – 08:43 WIB

Dengan surga, Tuhan ingin memanjakan kitaDengan dunia, Tuhan tak ingin kita malas.

DI Hotel Ciputra, Jakarta, pekan lalu, saya bertemu dengan Ciputra

BACA JUGA: Jalani Beragam Warna Kehidupan

Dia bicara di depan Forum Pemimpin Redaksi Grup Jawa Pos
Dia menghasut kami tentang entrepreunership, suatu kata yang ia rumuskan dengan sederhana sebagai upaya mengubah rongsokan menjadi emas.

Saya menjadi pemandu diskusi dengannya, pagi itu

BACA JUGA: Bekerja Seperti Dirigen

Pagi ketika, ia harus mengorbankan kebiasaannya, sehingga hari itu ia harus bangun pagi, agar tak terjebak macet dalam perjalanan dari rumahnya di Bukit Golf, Pondok Indah, menemui kami.

Di panggung rendah kami duduk berdua
Tapi, sofa empuk yang disediakan tak ia duduki

BACA JUGA: Pencipta Aplikasi Radar Bakmi di BB

Terlalu rendah tampaknyaIa tak nyaman duduk dengan menekuk lutut dalam sudut sempitIa minta kursi biasa yang lebih tinggi, dan duduk di sana, kakinya bisa selonjor.

“Saya ikhlas masuk nerakaAsal jangan disiksaKenapa? Karena banyak yang bisa saya kerjakan di sana,” kata CiputraIni kalimat mengejutkan, secara khusus saya mencatat kalimat itu.

Apa arti kalimat itu? Bagi Ciputra, hidup adalah kerja kerasIa pernah hidup amat kekuranganKarena itu ia tak ingin bangsa ini miskin.

Selama dua tahun saat usia enam hingga delapan tahun, ia dititipkan pada tante-tantenyaIa diperlakukan ”kejam”Ia harus membersihkan tempat ludah, dan mengerjakan hal-hal lain yang berat dan kotor.

Pada saat Ciputra berusia 12 tahun, ayahnya Tjie Siem Poe, ditangkap oleh tentara Jepang, tuduhannya: menjadi mata-mata Belanda, lalu wafat di dalam penjara di ManadoHanya kabar kematiannya yang sampai, di mana jenazah itu dimakamkan tak pernah diketahuiIngatan saat ayahnya melambai, dan tangisan ibunya, tak pernah terhapus dari benak Ciputra.

Tanpa kepala keluarga, keluarga itu menghadapi hidup beratMereka bertahan hidup dengan hasil dagang kueCiputra kecil, mengurus sapi piaraan, sebelum ke sekolah, jalan kaki 7 kmToko kelontong yang jadi andalan hidup keluarga itu sudah ditutup paksa oleh Jepang, saat sang kepala keluarga diciduk.

Ciputra adalah optimismeIa – dengan bahasa sendiri – mengatakan, yakin bisa mengubah penderitaan menjadi kemakmuran”Untuk menuju ke sana, saya menempuh perjalanan sulit: terjal, berbatu-batu, dan berduri,” katanya.

Ciputra yang akrab disapa dengan nama Pak Ci, lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan.

Setamat SMA, bungsu dari tiga saudara itu merantau ke JawaIni adalah langkah besar yang mengubah kehidupannyaDengan kerja keras ibunya, ia masuk Jurusan Arsitektur ITB, BandungBelum lulus, dia sudah buka biro konsultan arsitekturItu harus ia lakukan, karena itulah satu-satunya cara ia bertahanSejak tingkat dua, ibunya tak lagi kirim biaya kuliah.

Setelah lulus, ia hijrah ke JakartaTahun itu, 1960, ia setengah menggelandang, bersama istrinya yang sudah ia kenal sejak SMA di Manado, dari losmen murah satu ke losmen lain.

Ciputra tidak mencari kerjaIa bisa yakinkan Pemerintah DKI untuk membuka perusahaan daerahAwalnya, PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang kini punya 20 anak perusahaan dan 14.000 karyawan itu, hanya diurus lima orang, termasuk Ciputra yang menjadi direktur, hingga kelak menjadi direktur utamanyaInilah perusahaan yang berhasil mengubah daerah seram Ancol menjadi kawasan pelancongan kelas dunia.  Lalu, selebihnya adalah sejarah, Ciputra sukses mengembangkan tiga kelompok usaha besar.

”Saya tak tahu di mana ijazah sarjana saya,” kata Pak CiIa sendiri, menantang lulusan Universitas Ciputra – sekolah yang ia dirikan dan tahun ini akan meluluskan angkatan pertama – untuk melaminating saja ijazah sarjana, membingkainya lalu gantung di dindingTak usah dipakai untuk melamar kerjaJadikan kenang-kenangan saja bahwa mereka pernah kuliah.

”Saya tantang mereka menjadi entrepreneur,” kata CiputraIni bukan tantangan kosong, sebab si penantang adalah orang yang 50 tahun yang lalu, telah melakukan hal yang sama.

Ada kisah lucu soal ijazah ituSuatu hari Dian Sumeler, istrinya, menemukan ijazah itu dan mengingatkan Ciputra, betapa itu benar-benar tak pernah dipakai untuk mencari kerjaBukan ijazah itu hal yang paling penting ”Hal terpenting yang saya dapat dari ITB adalah kreativitas,” katanyaKreativitas di bidang arsitektur itulah yang melengkapi kemampuannya menjadi entrepreneurBukan ijazahnya.

Ciputra yakin, bangsa ini bisa diselamatkan dengan semangat entrepreunershipIa kerap mengutip David McClelland, suatu yang ia yakini benar bahwa suatu bangsa akan makmur jika mempunyai entrepreneur sedikitnya 2 persen dari jumlah pendudukIndonesia? Sekarang hanya ada 400 ribu pengusaha yang bisa dikelaskan sebagai entrepreneur, hanya 0,18 persenHarusnya kita punya 4 juta lebih! Sangat kurang.

Seperti sering diakuinya, ia tak pernah merasa suksesIa yakin, jika ia sudah merasa berhasil, maka kreativitas akan mandekItulah mungkin penjelasan dari kalimatnya soal surga dan neraka yang saya kutip di atas.

Jika surga ibarat kursi nyaman, duduk menikmati hasil, dan neraka adalah tantangan yang harus dijawab dengan kerja, Ciputra memilih neraka”Asal jangan disiksa, dan banyak yang bisa saya kerjakan di sama,” kata kakek sembilan cucu itu.

Ya, bagi Ciputra kerja adalah kemuliaanBekerja baginya jauh lebih mulia daripada duduk menikmati kenyamanan”Bangkitkan kepercayaanTidak boleh larut dalam keputusasaanInilah pentingnya punya integritas, punya karakter, punya mental juara,” kata Ciputra.

Dan etos kerja itu ia tularkanIa ajarkan, secara langsung, juga lewat sekolah dan universitas formal”Kalian adalah cicit murid saya,” katanya.

Chairman Jawa Pos Grup, Dahlan Iskan - orang yang dengan gagasannya dulu tentang jaringan koran lokal - memungkinkan kami, para pemimpin redaksi koran di grup ini berkumpul di Jakarta, di Hotel Ciputra, di hadapan Ciputra,  pernah berkata begini, ”Etos kerja keras itu di Jawa Pos Grup ditularkan oleh Eric Samola kepada sayaPak Eric mendapatkannya dari Ciputra.”

”Kalian adalah entrepreneurOrang-orang yang berpikir dengan entrepreneurshipKalau tidak, tak mungkin jaringan koran ini jadi sebesar sekarang,” kata Pak Ci.

Dan itu adalah proses yang terus-menerus dan makan waktu”Saya mendidik Eric selama sepuluh tahunDahlan dididik Eric juga sepuluh tahun,” katanya(***)

Ditulis oleh Hasan Aspahani
Pemimpin Redaksi Batam Pos (grup JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sukses di Dunia Maya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler