Ketua HSNI Rasmijan soal Cantrang

Saya Juga Kaget Pak Presiden Bilang Gitu

Jumat, 19 Januari 2018 – 09:01 WIB
Nelayan dan alat tangkap cantrang. Foto: AGUS WIBOWO/RADAR TEGAL

jpnn.com - Polemik penggunaan cantrang sudah berlangsung tiga tahun. Para nelayan memprotes Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dengan menggelar aksi unjuk rasa serentak di beberapa kabupaten di Jawa Tengah pada 8 Januari lalu.

Demo dengan skala lebih besar di Monas pada tanggal 17 Januari.

BACA JUGA: Seperti Apa Alat Cantrang itu Digunakan?

Susi bersikeras, bahwa alat tangkap cantrang tidak ramah lingkungan. Jaring lebar yang disebar dan ditarik seketika rawan menjerat ikan-ikan kecil, mengancam stok ikan di perairan indonesia, dan merusak biota laut seperti terumbu karang.

Dengan dua kebijakan andalannya, pelarangan cantrang dan pembasmian illegal fishing, Susi mengklaim mampu menaikkan stok ikan sampai 9,9 juta ton di tahun 2017 dari 6,5 juta ton pada tahun 2014.

BACA JUGA: Nelayan Cantrang Masih Ragu Turun Melaut

Susi menerbitkan pelarangan Cantrang pada awal 2015. Disambut oleh protes nelayan.

Pelarangan sempat akan diberlakukan resmi pada pertengahan tahun 2017. Lantas mundur ke awal tahun 2018, lalu lagi-lagi tidak jadi diberlakukan karena resistensi nelayan

BACA JUGA: Aktivis Muda NU Mengapresiasi Jokowi Cabut Larangan Cantrang

Demo serentak tanggal 8 Juli sampai juga ke telinga presiden. Sehabis menghadiri pembukaan Muktamar Jamiiyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN) di Pekalongan senin (15/1), Jokowi segera bertolak ke Tegal.

Mengajak perwakilan nelayan dari beberapa wilayah di Jawa Tengah beserta dari beberapa Kepala Daerah kumpul bersama di sebuah rumah makan.

Sunyoto, Ketua perwakilan nelayan asal rembang, bercerita bahwa presiden saat itu langsung membahas Cantrang.

“Saya nggak mau melebar, saya cuma ingin bahas cantrang,” tutur Sunyoto, Kamis (18/1), menirukan ucapan Jokowi.

Rasmijan, ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) pun angkat bicara dan menjelaskan panjang lebar mengenai alat tangkap Cantrang.

Rasmijan dalam penjelasannya menekankan bahwa cantrang bukan alat tangkap yang merusak. “Beda dengan trawl yang ditarik terus semaunya,” kata Rasmijan.

Cantrang, kata Rasmijan hanya “menyendok” ikan di area seluas rata-rata 3 x 500 meter. Dengan jam operasi 30 menit hingga 1 jam.

Sementara Trawl benar- benar bisa menghabiskan stok ikan karena menarik jaring menganga sepanjang area perairan selama 5 sampai 6 jam tergantung kemauan pemilik perahu. “Saya sudah jadi nahkoda trawl sejak tahun 65,” tuturnya.

Setelah mendapatkan penjelasan tersebut, Jokowi akhirnya setuju untuk membiarkan nelayan menggunakan cantrang tanpa ada batasan wilayah dan waktu. “Saya juga kaget pak presiden bilang gitu,” katanya.

Alih-alih menyejahterakan nelayan, kebijakan pelarangan cantrang ini malah menyengsarakan.

Sunyoto menuturkan untuk berubah ke alat tangkap gillnet, dia menghabiskan Rp 2,3 miliar untuk memodifikasi kapal. Lalu Rp 1,1 miliar untuk membeli satu set gillnet.

Sunyoto kemudian membawa kapal dan alat tangkap barunya ke perairan arafuru untuk uji coba.

Menghabiskan Rp 1,5 miliar untuk kru dan perbekalan kapal. Hasilnya, ia hanya mampu menjual ikan senilai Rp 800 juta saja.

Salah satu anggotanya, kata Rasmijan mengalami hal serupa. Berangkat ke perairan dekat Papua dengan perbekalan Rp. 160 juta. Lantas pulang dengan Cuma membawa hasil tangkapan senilai Rp. 50 juta. “Kita nggak mau karena banyak gillnet yang nggak sukses,” kata Rasmijan.

Sementara Jumiati nelayan asal Rembang mengatakan bahwa berubah kepada alat tangkap baru tidak semudan membalikkan telapak tangan.

Untuk membeli alat cantrang yang saat ini digunakan saja, dirinya dan beberapa saudaranya masih meminjam ke Bank. “Sertifikat tanah, rumah dan lain-lain sudah dijaminkan semua,” tuturnya.

Lantas tiba-tiba ada kebijakan agar semua nelayan beralih ke alat tangkap baru. Tunggakan sebelumnya belum lunas, harus menggali hutang lagi. Tentu Jumiati merasa keberatan.

Beralih ke alat tangkap baru bukan cuma soal biaya, tapi juga SDM. Penggunaan alat tangkap baru juga berarti butuh melatih kru untuk mengoperasikan manuver kapal dan alat tangkap yang baru pula.

Dengan keputusan presiden tersebut, Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono mengatakan bahwa semua nelayan pemilik cantrang sudah siap melaut lagi. Tuntutan “Uji Petik” yang sempat dilayangkan pada Susi kemarin otomatis tidak akan dilanjutkan lagi.

Riyono mengingatkan, bahwa dalam rapat dengan presiden di istana pada Rabu (17/1) kemarin, Susi hanya menawarkan pada yang berminat untuk mengganti alat cantrang, akan difasiltiasi oleh pemerintah. Sementara yang sudah punya tidak akan lagi diganggu.

“Kalau tidak dilarang, kami akan melaut lagi. Kalau dilarang lagi, ayo saya tantang untuk lakukan uji petik bersama, gitu aja,” pungkas Riyono. (tau)

Cantrang

Versi Kementerian Kelautan dan Perikanan

- Cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat aktif dan dioperasikan sampai menyentuh dasar perairan. Akibatnya, kerusakan karang dan biota laut.

- Prinsip cantrang sama dengan pukat hela (trawl). Sekali tarik bisa ratusan ton ikan besar dan kecil terangkut. Membahayakan stok ikan jangka panjang.

- Hasil tangkapan cantrang, 46-51 persen bernilai ekonomis layak konsumsi. Sebanyak 49-54 persen tangkapan sampingan yang dipakai untuk tepung ikan dan pakan ternak.

- Cantrang dinilai tidak ramah lingkungan. Pada kapal berukuran lebih dari 30 GT yang dilengkapi cold storage itu mengoperasikan cantrang dengan tali selambar 6 ribu meter. Luas jangkauan sapuan tali bisa mencapai 289 hektare.

Versi Nelayan

- Cantrang tidak sama dengan Trawl. Meskipun menyentuh dasar laut, mata jaring sangat lebar, 15 inchi di ujung dan 6 inchi di dekat kantong. Ikan kecil akan lolos. Sementara mata jaring Trawl bisa sekecil 2 inchi.

- Pengoperasian Trawl berbeda dengan cantrang. Trawl menarik jaring dengan perahu sepanjang perairan sesuka pemilik kapal bisa 5 sampai 6 jam. Cantrang hanya dioperasikan 30 menit sampai 1 jam.

- Cantrang bisa merusak terumbu karang adalah asumsi ngawur. Jika digunakan di daerah terumbu karang, justru alat tangkap yang akan koyak dan rusak. Nelayan selalu memilih dasar laut berlumut atau berpasir

- Gillnet yang ditawarkan oleh pemerintah tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Ikan yang terjerat di jala yang ditebarkan kebanyakan sudah mati dan membusuk saat diangkat ke atas kapal

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Aliansi Nelayan Indonesia

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Membandingkan Kabinet SBY dan Jokowi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler