Saya Kecewa Berat di Riau

Selasa, 11 Agustus 2015 – 13:43 WIB
Pemimpin Redaksi Pekanbaru Pos (Grup JPNN.com), Afni Zulkifli (kanan) bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Foto JPNN.com

jpnn.com - Sebuah gadget canggih tidak lepas dari tangannya. Pada bahasan tertentu, ia aktif melihat data di perangkat itu, bahkan mengirim pesan langsung ke bawahannya meminta penjelasan. Katanya, biar tidak ada data yang salah tersampaikan.

Begitulah aksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar saat ditemui di kediamannya di Jakarta oleh Wartawan Pekanbaru Pos (Grup JPNN.com), Afni Zulkifli beberapa saat yang lalu.

BACA JUGA: Gusti Allah Maunya Seperti Itu

Bu Siti -sapaan akrabnya-, selalu memonitoring perkembangan kerusakan akibat kebakaran hutan dan perambahan di Pulau Sumatera, khususnya di Provinsi Riau.

Dalam pertemuan tersebut, banyak hal yang dibicarakan. Termasuk kasus penyenderaan pegawai perusahaan swasta oleh masyarakat, kebakaran hutan, perambahan kawasan, penangananya, serta rasa kecewa dengan sikap Pemerintah Daerah. Berikut petikan wawancaranya.  

BACA JUGA: Haram di Bagian Mananya?

Bagaimana laporan terakhir dari Riau ke Ibu?

Ini saya baru dapat kabar, ada pegawai Tesso Nilo yang disandera masyarakat di Pelalawan. Kemungkinan dampak dari arahan saya di sana soal sawit. Jadi, saya meminta pihak perusahaan tidak boleh lagi menerima sawit dari kawasan Tesso Nilo. Karena kalau ada sawit yang datang dari kawasan itu, pasti ilegal. Kawasan itu kan dilindungi.

BACA JUGA: Fatwa BPJS Kesehatan Haram Bukan untuk Dipolemikkan

Perkembangannya bagaimana?

Pegawai kita sudah dibebaskan. Ada Direktur Jenderal saya di sana ikut memantau kondisinya. Perihal membuka lahan di Tesso Nilo ini, sebenarnya semua sudah jelas. Sudah ada batas-batasnya. Saya harus tegas, agar kesalahan yang sama tidak terus berulang di kawasan itu.

Perihal kebakaran lahan dan hutan (Karlahut) bagaimana?

Saya minta Dirjen Penegakan Hukum, berkantor di Riau selama satu bulan dan lakukan observasi menyeluruh. Saya perintahkan, sudah kamu di sana saja. Gak usah pakai publikasi, yang penting kerja dan kawal semuanya. Tindak tegas pelaku pembakar lahan, siapapun dia. Mau masyarakat atau pun perusahaan, jika terbukti membakar dengan sengaja, segel saja lahannya. Biar tidak terus saja terulang masalah ini. Saya sering sedih melihat asap kembali dirasakan rakyat Riau.

Di Pekanbaru sudah ada 100 hektar lahan disegel di Air Hitam. Lalu ada PT HSL di Pelalawan, PT RGMS di Kampar dan satu konsesi di Siak. Tim Pak Dirjen akan terus menyusuri lahan-lahan itu. Nanti dari sana akan terlacak siapa yang membakar.

Masyarakat sempat ada harapan dengan kedatangan Presiden Jokowi ke Riau, akan ada kebijakan khusus menangani Karlahut dan asap. Tapi ternyata Karlahut dan asap kembali dirasakan rakyat. Bagaimana penanganan pemerintah?

Nah, inilah yang bikin saya kecewa berat. Kalau saja Pemda-nya mau nurut dengan arahan kita, mungkin tidak begini jadinya. Sebenarnya saya sudah minta kepada Pemprov Riau, sejak bulan Mei, mulai membuat 1.000 sekat kanal di lahan-lahan rawan. Ini langkah konkrit. Anggarannya sudah ada dari BNPB (Badan Nasional Penanganan Bencana) dan sudah sudah siap cair sebesar Rp 15 miliar. Tapi teryata tidak dibangun kanal-kanal itu.
 
Masalahnya dimana?

Tidak ada masalah. Dana sudah ada. Perintah kita ke daerah sudah jelas. Tapi Pemdanya tidak mau jalankan. Makanya saya kecewa sekali. Mereka tidak mau bangun kanal, hanya karena alasan administratif, menunggu petunjuk teknis. Padahal inikan sifatnya bencana, jadi harusnya Pemda sigap dan tidak perlu menunggu surat.
 
Saya ini pernah menjadi staff Gubernur selama 20 tahun. Tugas staff Gubernur dalam fungsi birokrasi itu ada yang namanya advist kebijakan, memberi masukan pada Gubernur. Kalau justru menunggu administratif, sementara masalah rakyat tak berani ambil keputusan, kan malah jadi masalah.

Mungkin ada kekhawatiran berimplikasi hukum?

Khawatir itu wajar. Tapi jangan takut tanpa alasan. Apalagi ini untuk mengambil keputusan bagi kepentingan rakyat banyak. Dalam birokrasi tak selamanya harus menunggu Juknis. Hasil-hasil rapat dan arahan Menteri itu sudah bisa dijadikan landasan.
 
Saya kan sudah jelas memberi arahan, segera bangun sekat kanal dengan melibatkan masyarakat, Polri dan TNI. Ini kan masalah bencana besar, mengapa harus menunggu hal-hal bersifat administratif yang kecil.
 
Kalau kanal dibuat dari bulan Juni, mungkin Juli-Agustus tidak ada itu asap. Tapi Pemprov tak berani buat dengan melibatkan masyarakat. Saya menyayangkan sekali dan itu sudah saya sampaikan langsung ke Plt Gubernur Riau.
 
Nah, saat bencana Karlahut dan asap terbukti kembali datang, baru menyesal tak buat kanal, rasanya ya buat apa? Kalau Pemda Riau tidak cepat tanggap dan terlalu takut mengambil kebijakan, kasihan nanti rakyatnya yang justru jadi korban.
 
Riau ini kan sangat setrategis sekali. Masyarakatnya sangat terbuka. Bahkan Riau termasuk Provinsi dengan tingkat investasi tertinggi di Indonesia. Kalau sudah bagus begitu, masa mau mundur hanya gara-gara asap. Tidak hanya Riau yang rugi, tapi juga Indonesia.
 
Berapa kerugian karena Karlahut dan asap?

Saya berikan beberapa contoh saja ya, di Kecamatan Rupat, misalnya tahun 2013, tercatat kerugian akibat Karlahut senilai Rp 388 miliar. Lalu di Kecamatan Bukit Batu, Rp 578 miliar. Keduanya di Bengkalis.  Kok sekarang mau diulangi?
 
Contoh lain di tahun 2014, di kecamatan Sungai Apit, kabupaten Siak, kerugian mencapai Rp 839 miliar. Kemudian di Bukit batu terulang lagi dan kerugiannya mencapai Rp 352 miliar.
 
Angka-angka ini kita dapat dari kajian ilmuwan. Ini baru gambaran kecil saja. Jadi bisa dilihat betapa ruginya rakyat, daerah dan Negara.
 
Apakah Ibu Menteri punya target kerja untuk Riau?

Kok target saya? Soal Riau inikan malah target dan perintah langsung Presiden RI. Beliau memberi arahan langsung, bahwa tidak boleh ada lagi rakyat yang jadi korban Karlahut dan asap.
 
Maka sumber masalahnya harus dibuang, kebijakannya dikelola dengan baik, masyarakat dan perusahaan dilibatkan. Terutama menjaga lahan gambut dan menekan kebiasaan masyarakat membakar lahan. Kita harus mengedepankan juga kearifan lokal.
 
Lagi pula kalau bicara Provinsi dan wilayah,  itu wilayah dan masyarakat ada penanggung jawabnya juga yaitu Gubernur dan para Bupati/Walikota. Mengapa kita tidak bisa melihatnya sebagai satu kesatuan sistem, dimana seluruh wilayah dan masyarakat itu, merupakan  tanggung jawab bersama pemerintah pusat dan daerah.

Langkah-langkah konkritnya seperti apa?

Harus dilakukan kontrol menyeluruh terutama pada lahan-lahan kritis. Regulasi lahannya juga harus disempurnakan, untuk mengantisipasi kerawanan Karlahut. Contohnya, soal dibolehkan membakar dua hektar lahan. Kebijakan ini harus disempurnakan biar tidak disalahgunakan.
 
Selain itu harus ada insentif ekonomi bagi masyarakat, apabila ia membuka lahan tanpa membakar.
 
Dan yang terpenting adalah penegakan hukum. Ini lebih ditujukan pada perusahaan-perusahaan yang merugikan rakyat. Jangan sampai perusahaan dibiarkan memanfaatkan rakyat dan menjadikan rakyat korban. Makanya Pak Dirjen penegakan hukum Kementerian LHK, yang baru saja dilantik, saya minta berkantor lama di Riau.
 
Perusahaan di Riau ini mayoritas berskala besar. Kalau ada oknum perusahaan nakal, apakah Ibu Menteri tidak takut? Terutama dalam hal penegakan hukum.

Saat rakyat terus berulang jadi korban, negara tidak ada lagi kompromi. Perusahaan nakal pasti akan kita tindak dan seret ke meja hukum.

Apakah pernah mendapat ancaman selama menjadi Men-LHK?

Ancaman langsung tidak ada. Tapi kalau yang nelpon bilang 'lahan ini dijaga belasan Jenderal', itu pernah. Tapi tidak ada alasan saya takut perangi mafia di Riau, yang sengaja membakar lahan dan menyebabkan bencana asap. Karena saya sangat sedih sekali, sudah banyak rakyat menjadi korban.

Arahan Ibu pada perusahaan-perusahaan di Riau seperti apa?

Sudah sering disampaikan, terutama pada perusahaan-perusahaan grup, yang mungkin kurang hati-hati mengelola lahan grupnya.
 
Perusahaan itu sudah bekerja baik, tapi salah satu grupnya tidak baik, ya bakal tidak baik juga. Jadi mohonlah perhatiannya perusahaan besar ini menjaga grupnya juga.
 
Saya juga berterimakasih sekali, pada perusahaan-perusahaan yang sudah turut terlibat langsung pemadaman Karlahut di Riau.
 
Sekaligus saya ingatkan pada perusahaan-perusahaan, waspada bilamana ada yang mengatasnamakan saya untuk melakukan pendekatan atau pun kompromi. Saya tidak pernah mengutus siapapun menemui perusahaan. Jika memang baik, maka pasti baik. Tapi jika tidak baik, saya dan Kementerian LHK tidak akan ada kompromi. Saya tegas soal itu.

Ada permintaan dari Negara Singapura, untuk bisa menghukum pembakar lahan di Riau dengan hukum internasional. Benarkah?

Ya benar, malah sampai sekarang Singapura masih ngotot ingin menghukum pembakar lahan di Indonesia, tidak hanya Riau, dengan hukum mereka. Jelas permintaan itu kita tolak. Karena negara harus melindungi segenap bangsa dan tumpah darah.
 
Apa kita biarkan kalau anak bangsa kita diadili di negara lain? maka yang saya minta adalah channel antar negara, bukan melalui ruang publik dengan alasan transparansi.
 
Singapura pasti berkepentingan tentang hal tersebut, karena mereka pada Agustus tahun lalu sudah mengeluarkan UU nya yang dapat memberikan sanksi kepada pembakar hutan meskipun itu orang Indonesia, bukan warga negara Singapura.
 
Tapi saya kira ini harus kita luruskan. Kedaulatan bangsa harus kita jaga. Melindungi anak bangsa harus kita lakukan.  Meskipun soal polusi lintas batas terus dibicarakan di tingkat ASEAN.

Apakah hal itu yang dibahas pada pertemuan Menteri Lingkungan Hidup se ASEAN, akhir Juli lalu?

Benar. Jadi dalam pertemuan itu, Menteri LH Singapura masih menyampaikan keinginan mereka, untuk mendapatkan data nama perusahaan, pemilik, luas areal lahan yang dikelola di Indonesia serta informasi lainnya.
 
Sehingga nantinya UU Singapura bisa menghukum warga negaranya atau bahkan warga dari negara mana saja, yang terbukti menjadi pelaku pembakar lahan, bilamana mereka ke Singapura.

Bagaimana sikap Indonesia dengan permintaan ini?

Saya jawab, bahwa Indonesia punya UU sendiri. Terutama UU soal keterbukaan informasi publik. Tidak semua informasi bisa dibuka, apalagi bila harus diserahkan kepada negara lain.
 
Saya sampaikan dalam forum resmi tersebut, bahwa proses hukum atau hal-hal lain yang berkaitan dengan konsensus antar negara, maka harus diproses antar negara itu sendiri.
 
Usulan ini didukung oleh Menteri LH Malaysia. Sementara keinginan Singapura didukung oleh Brunei. Thailand abstain.  Jadi posisinya hampir sama kuat.
 
Saya bersyukur, sekretaris ASEAN dalam kesimpulannya memberi apresiasi langkah-langkah yang telah Indonesia lakukan, untuk menangani serius masalah Karlahut ini. Mereka juga sangat mengerti dengan posisi Indonesia dan Malaysia. Penegakan hukum menurutnya harus sesuai dengan regulasi di negara masing-masing.
 
Kita akan terus perjuangkan itu, karena kalau tidak, warga kita bisa dihukum di negara orang. Kan bahaya. Makanya, ini harus jadi peringatan bagi pelaku pembakar lahan, betapa banyak rakyat lintas negara yang juga dirugikan akibat asap. Mereka marah.

Perihal polusi lintas batas ini sudah disepakati sejak 12 tahun lalu. Bagaimana posisi Indonesia di ASEAN?

Kita tengah mengusulkan agar ASEAN Centre for Trans Boundary Haze Polution (pusat kegiatan asap lintas negara ASEAN), itu ditempatkan di Indonesia. Tujuannya, agar kita bisa mendapatkan database secara utuh dan menjadi tempat penelitian dan pendidikan soal asap lintas negara.
 
Tapi yang paling terpenting adalah, menegaskan tentang posisi Indonesia sebagai negara terbesar di antara lima negara yang punya masalah asap. Lima negara itu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand.
 
Usul ini akan kita bawa nanti bulan September, saat ada workshop tentang polusi lintas negara tingkat ASEAN.

Beralih ke masalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau yang tak kunjung selesai. Apa masalah sebenarnya?

Untuk Riau, RTRW-nya sudah tidak ada masalah. Asalkan berpegangan pada SK yang kami keluarkan September 2014. SK ini sudah bisa dijadikan sebagai dasar.
 
Saya melihat, masih molornya RTRW ini sebenarnya justru masalah di daerah yang masih belum puas dengan hasilnya. Jadi daerah-daerah di Riau, masih terus mengajukan revisi dari SK yang sudah dikeluarkan Men-LHK.
 
Posisinya sama, yakni kekhawatiran dan ketakutan Pemda untuk memakai dokumen status hutan yang mana. Atau ya karena belum puas itu. Soal tata ruang yang terkait dengan Kementerian LHK, terutama soal status kawasan  hutan, harusnya bisa saja diterima dulu. Kalau Pemda tidak puas, bisa direvisi  nantinya.  Dalam catatan kami, seingat saya,  untuk tata ruang Provinsi Riau, tidak ada bahan yang harus diputuskan oleh DPR. Jadi harusnya tidak ada masalah lagi.

Kami ingin menunjukan komitmen dari Riau Pos Grup terhadap lingkungan. Salah satunya dengan menerbitkan halaman For Us setiap akhir pekan di Koran Riau Pos.

Wah, halaman ini sangat bagus sekali (Bu Siti antusias membaca halaman ‘For Us’ Riau Pos). Seperti dalam harapan saya selama ini. Persoalan lingkungan tidak hanya kerjaan pemerintah saja, tapi juga segenap elemen masyarakat termasuk media massa. Saya menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya pada Riau Pos Grup, pada wartawan-wartawan baik, yang masih memiliki komitmen tinggi sama-sama menjaga lingkungan. Semoga halaman ini terus dipertahankan, karena pasti sangat bermanfaat bagi masyarakat. Saya juga pernah menjadi bagian dari grup besar ini, saat pernah ditunjuk sebagai Steering Commite reformasi birokrasi di Jawa Pos dari tahun 2006-2011. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih pada komitmen Riau Pos Grup terhadap lingkungan. Korannya ditinggal saja ya, saya ingin membacanya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Baca Novel, Silakan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler