Melihat antrian panjang di berbagai pusat vaksinasi di Melbourne selama seminggu terakhir, dengan begitu banyak warga dengan berbagai alasan ingin segera mendapatkan vaksin COVID-19, saya merasa lega bahwa saya sudah mendapat vaksinasi beberapa hari sebelumnya.

Sejak negara bagian Victoria termasuk ibukota Melbourne menerapkan 'lockdown' sejak hari Kamis pekan lalu (27/5/2021), terjadi antrian vaksinasi dengan masa tunggu selama beberapa jam.

BACA JUGA: PSK di Melbourne Manfaatkan Aturan Ini Agar Tetap Bekerja Selama Lockdown

Sekarang setiap sekitar 20 ribu warga mendapatkan vaksin Pfizer ataupun AstraZeneca.

Walau vaksinasi sudah dimulai sebelumnya sejak bulan Maret, antuasias warga Australia tidaklah cukup tinggi, selain juga karena memang prioritas pemberian vaksin diberikan kepada para pekerja kesehatan dan juga warga yang berusia di atas 70-tahun terlebih dahulu.

BACA JUGA: Tidaklah Mudah Menjadi Relawan di Jalur Gaza, Fikri Harus Menahan Rasa Sedih dan Marahnya

Namun munculnya berita adanya kasus penggumpalan darah dari mereka yang mendapatkan vaksin AstraZeneca membuat apa yang kemudian disebut 'vaccine hesitancy' atau keraguan mendapatkan vaksin.

Dengan kasus COVID-19 di Australia yang relatif lebih sedikit, warga di Australia merasa mereka bisa menunggu dan tidak perlu terburu-buru untuk mendapatkannya.

BACA JUGA: WHO Izinkan Penggunaan Vaksin Sinovac, Begini Hasil Kajiannya

Karenanya, untuk mendorong lebih banyak orang mau divaksinasi, Australia mulai membuka kesempatan kepada warga yang berusia d di atas 50 tahun untuk mulai mendapatkan vaksin sejak 1 Mei 2021.

Itulah yang kemudian saya melakukan vaksinasi dan sejak awal memang saya tidak pernah ragu untuk mendapatkan vaksin. 

Ini juga karena pengalaman saya dengan vaksin flu yang saya dapatkan setiap tahun, sejak saya mulai berusia 50 tahun, sangat membantu saya melewati musim dingin di Australia yang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus .

Saya tidak perlu khawatir akan menderita flu, batuk-batuk, sakit tenggorokan, dan keluhan lainnya.

Setiap tahun, tempat saya bekerja ABC memberikan vaksin gratis kepada semua staf yang memerlukannya, dan itulah yang saya dapatkan untuk vaksin flu tanggal 28 April lalu.

Karena disarankan sebaiknya ada jeda sekitar dua minggu antara vaksin flu dan vaksin COVID-19, maka saya harus menunggu sampai pertengahan Mei untuk mendapatkan vaksin AstraZeneca. 

Segera setelah dua minggu berlalu, di hari Minggu (16/5/2021) saya mencari informasi di internet dimana lokasi terdekat untuk mendapatkan vaksin COVID. 

Sebelumnya saya sudah dua kali menjalani tes PCR COVID-19 di tahun 2020 dan saya mengetahui di klinik tersebut sekarang juga menyelenggarakan vaksinasi.

Hanya saja karena lokasinya cukup jauh, sekitar 5 kilometer dari rumah, saya berusaha mencari klinik lain yang dekat dengan tempat kediaman saya.

Kemudian di hari itu juga saya mendapatkan klinik yang ternyata hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumah yang memberikan vaksinasi, dan saya melihat masih banyaknya tempat tersedia beberapa hari ke depan.

Saya kemudian mendapat jadwal divaksin hari Rabu (19/5) pukul 10.35 pagi.

Proses pendaftaran sampai dengan proses penyuntikan berjalan tanpa insiden dan saya mengerjakannya di sela-sela waktu kerja, karena berlangsung kurang dari satu jam.

Sebelum sampai ke klinik saya sudah diminta memberikan keterangan mengenai riwayat kesehatan sebelumnya apakah memiliki kondisi-kondisi kesehatan yang mungkin akan menyebabkan saya "tidak layak" mendapatkan vaksin AstraZeneca.

Secara umum, di usia 56 tahun ini saya relatif sehat. Mungkin berat badan masih sedikit di atas ideal dan saya memiliki tekanan darah tinggi yang perlu dibantu dengan obat-obatan.

Terlepas dari itu,  saya cukup bugar karena melakukan olahraga dengan berjalan kaki teratur selama satu jam sehari, yang juga saya lakukan bersama anjing saya, Ayra, yang dengan senang hati selalu senang diajak keluar rumah.

Sesampainya di klinik, perawat kembali menjelaskan ada kemungkinan terjadinya kasus penggumpalan darah, dengan statistik sekitar 6-8 orang per 1 juta orang yang divaksin.

Saya juga kembali ditanyai mengenai kondisi kesehatan dan saya menjelaskan hal yang sama yang pernah saya tulis di formulir mengenai apakah memiliki alergi yang parah, atau beberapa kondisi lain.

Setelah disuntik, kami masih harus menunggu selama 30 menit di klinik sebelum diperbolehkan pulang untuk mengantisipasi kemungkinan adanya efek samping dari vaksinasi.

Syukurlah setelah di rumah, saya juga tidak mengalami gejala apapun, misalnya demam atau rasa capek, yang saya tahu dialami oleh beberapa orang yang saya kenal setelah menerima vaksin yang sama. 'Memasukkan racun ke dalam tubuh'?

 

Sebagai wartawan, selama setahun terakhir saya tentu saja mengikuti dari dekat apa yang terjadi berkenaan dengan pandemi COVID-19, termasuk soal pro dan kontra mengenai vaksinasi.

Apakah saya tidak khawatir mengenai berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi karena vaksin?

Tentu saja kekhawatiran tersebut ada.

Namun secara umum saya sepenuhnya percaya dengan otoritas kesehatan di manapun, bahwa mereka bekerja secara profesional.

Apa yang terjadi sekarang ini adalah masalah dunia dan vaksinasi adalah salah satu cara untuk mengurangi tingkat kematian karena COVID.

Sebagian orang yang tidak ingin divaksinasi mengatakan mereka "tidak mau memasukkan racun ke dalam tubuh sendiri".

Saya bisa mengerti kekhawatiran tersebut.

Namun dalam pandangan pribadi saya, dalam kehidupan sehari-hari ada banyak makanan atau minuman lain yang kita konsumsi yang juga bisa membahayakan diri kita sendiri. 

Apalagi bila dikonsumsi berlebihan.

Kita sudah banyak mengetahui, misalnya merokok, minuman alkohol, atau pun hal yang sekarang menjadi perdebatan di banyak pemerhati kesehatan mengenai konsumsi gula atau garam berlebihan.

Jadi setiap hari kita dihadapkan pada pilihan dan saya merasa dalam soal vaksin COVID-19, manfaat untuk mendapatkannya jauh lebih besar dibandingkan kemungkinan kita terkena virus itu sendiri.

Dalam soal vaksin ini saya juga teringat ke masa puluhan tahun lalu ketika di Indonesia ada program vaksin cacar ketika saya masih di SD.

Rasa sakit karena lengan bagian atas kita ditusuk jarum, menurut saya, tidaklah sebanding dengan dampaknya bila tidak mendapatkan vaksin tersebut.

Saya memiliki beberapa orang teman yang mukanya 'bopeng-bopeng' karena tidak mau divaksinasi cacar.

Mereka mungkin menyesali seumur hidup harus menghadapi kenyataan bahwa muka mereka tidak mulus lagi. 

Dampak dari terkena virus corona bisa lebih buruk lagi, dengan jutaan orang di seluruh dunia selama setahun terakhir sudah menjadi statistik korban meninggal karena COVID-19.

Sampai hari ini lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia menjadi korban, dengan tanda-tanda pandemi belum akan berakhir. Berharap bisa melakukan perjalanan lagi

Alasan pribadi saya ingin secepatnya mendapatkan vaksinasi adalah, mungkin sama seperti jutaan orang lain di dunia, yakni saya ingin segera bisa melakukan perjalanan internasional lagi.

Terutama saya ingin segera bisa mengunjungi ayah saya yang tinggal di Jambi, di pulau Sumatera.

Ayah saya, Ikin Samuel, merayakan ulang tahun ke-88 bulan Desember 2020 lalu dan saya tahu dia tidak akan hidup selamanya.

Ayah saya tidak bisa menjalani vaksinasi, karena sekarang ini kondisi ginjal dan jantungnya sudah menurun, sehingga dikhawatirkan vaksinasi malah akan memperparah keadaan.

Sejak saya meninggalkan Jambi untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta tahun 1983, saya tidak pernah lagi tinggal bersama keluarga selama lebih dari satu bulan. 

Ini disebabkan karena setelah saya lulus kuliah, saya bekerja di Jakarta, kemudian pindah ke London, Inggris dan sekarang menetap di Australia.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan jarak Australia-Indonesia lebih dekat, saya biasa mengunjungi ayah saya setahun sekali.

Adanya pandemi membuka kesempatan untuk bisa melakukan pekerjaan dari mana saja.

Tidak harus lagi dilakukan di tempat tertentu. 

Ini membuka kesempatan bagi saya untuk bisa bekerja dari Indonesia, dan mungkin saja di Jambi, sehingga saya bisa bersama dengan ayah saya.

Namun semua itu hanya bisa terjadi, jika ada pembukaan perbatasan internasional. 

Dan perbatasan hanya bisa dibuka bila kasus COVID-19 berkurang dan sebagian besar dari kita sudah divaksinasi.

Bila itu semua terjadi, karena diperlukan waktu bagi tubuh untuk menciptakan kekebalan setelah divaksinasi, maka saya sudah akan siap melakukan perjalanan lagi untuk bertemu dengan ayah saya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Alasan Melbourne Perpanjang Lockdown

Berita Terkait