jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.
Kurikulum ini diharapkan menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah keunikannya masing-masing.
BACA JUGA: PPPK Guru Tahap 1 Segera Gajian, Simak Pernyataan Kemendikbudristek Ini
"Setiap anak punya keistimewaan dan punya ‘ruang’ masing-masing yang disediakan secara fitrah. Nah, kami membantu anak menemukan ‘ruang’ tersebut,” kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Plt. Kapuskurjar), Zulfikri Anas dalam Silaturahmi Merdeka Belajar secara daring di kanal YouTube Kemendikbud RI, dipantau Sabtu (19/2).
Dia mengungkapkan sebelumnya, para guru kalau mendengar kata kurikulum yang terlintas adalah administrasi rumit, bertele-tele, belenggu, dan seolah-olah tidak ada alternatif.
BACA JUGA: Kemendikbudristek Mitigasi Masyarakat Adat yang Terdampak Pandemi Covid-19
Semua anak dapat materi sama dengan cara sama, pengalaman belajar dan sumber belajar yang sama, penilaian sama.
Padahal, kata Zulfikri, kurikulum adalah sebuah proses, iklim, suasana, budaya belajar yang memanusiakan manusia.
BACA JUGA: Program Bangkit Makin Diminati, Kemendikbudristek & Google Getol Lahirkan Startup
Seharusnya melihat kurikulum dari situ sehingga, tidak hanya kemampuan atau pengetahuan siswa saja yang dikedepankan oleh guru. Para guru harus bergerak bersama menyentuh hati peserta didik
Oleh karena itu, dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih format, pengalaman, dan materi esensial yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dari sisi siswa, mereka punya ruang seluas mungkin untuk mengeksplorasi keunikan dirinya masing-masing.
Lebih lanjut, Zulfikri menjelaskan cara mengimplementasikan kurikulum ini. Pertama, guru harus mengenal siswanya terlebih dahulu. Berikutnya, guru memetakan kompetensi siswa dalam bentuk portofolio.
Pada hari pertama di tahun ajaran baru, sebaiknya guru tidak langsung menyampaikan materi, tetapi masuk dulu ke dunia anak untuk mengenal potensi dan pemahaman mereka.
Setelah guru mempunyai gambaran atau sebaran peta awal kemampuan anak, guru menyusun standar dari masing-masing kompetensi anak serta mulai mengkreasikan proses pembelajaran.
Terkait media pembelajaran, melalui Kurikulum Merdeka, peserta didik diberi kesempatan untuk bereksplorasi secara bijak dengan berbagai alat termasuk media digital yang menunjang pembelajaran.
Berbagai aplikasi digital yang berkembang sesuai tren, bisa dimanfatkan guru dan siswa untuk membuat konten pembelajaran yang menarik dan efektif.
“Di sini juga memungkinkan terciptanya kolaborasi tak hanya sesama guru atau sesama siswa, tetapi juga antara guru dan siswa,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, mulai tahun ini Kurikulum Merdeka terbuka untuk diterapkan di semua sekolah yang menginginkannya. Namun, sebelum menerapkan, sekolah harus belajar dahulu, memahami dulu.
"Jangan tergesa-gesa memulainya hanya karena melihat orang lain yang sudah mulai lebih dulu,” tegas Zulfikri.
Dia mengimbau kepada satuan pendidikan untuk mempelajari bahan dan informasi di laman resmi Kemendikbudristek maupun melalui saluran informasi di daerah baik Dinas Pendidikan, komunitas pengajar, guru, pengawas, dan organisasi/pegiat pendidikan.
Menurut Zulfikri, pelatihan terbaik adalah tumbuh dari dalam diri sendiri. Jika selama ini tergantung pelatihan berantai, dari pusat, turun ke provinsi dan kabupaten/kota, akan mungkin terjadi distrorsi sehingga yang tersampaikan hanya teknis administrasi dan mekanistik saja.
Sebagai pendamping, sebaiknya para pendidik memahami terlebih dulu hakikat anak, filosofi pembelajaran, dan kurikulum.
“Jika itu yang munculkan dari dalam diri para guru yakni belajar dimulai dari diri masing-masing maka belajar maupun pelatihan tidak harus menunggu dilatih. Namun, bisa dimulai kapan saja dan di mana saja,” terangnya.
Selain itu, yang tidak kalah penting dalam mengatasi krisis pembelajaran adalah penguatan pola pikir dalam ekosistem pendidikan.
Pertama, menciptakan kesadaran seluruh warga sekolah untuk berefleksi dan bergerak bersama dalam kolaborasi yang selaras guna mencapai pembelajaran yang bermakna.
Kedua, memberi ruang seluas-luasnya bagi anak untuk berkreasi dan mengembangkan diri dalam menemukan jati dirinya agar menjadi manusia yang bermanfaat di masa depan.
“Tolok ukur keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dari keceriaan (kebahagiaan) anak dan kemampuan mereka berkolaborasi menyelesaikan beragam persoalan," ujarnya.
Selain itu, bagaimana lembaga pendidikan mampu menciptakan budaya perilaku positif dalam mencetak SDM yang berkualitas dari waktu ke waktu sebagaimana nilai yang terkandung dalam profil pelajar Pancasila. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad