jpnn.com - PARA pemimpin sembilan negeri di sepanjang pesisir muara Sungai Jeneberang dan Tallo bermusyawarah.
Di puncak runding, mereka sepakat bersatu. Bergabung mendirikan Kerajaan Gowa. Peristiwa ini bermula pada Abad 14. Inilah hikayat sejarah kemaritiman Bugis Makassar.
BACA JUGA: Sejarah Baru! Kapal Dewaruci Pecahkan Rekor Dunia
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
Seiring kelahiran Kerajaan Gowa, para pemimpin dari sembilan negeri membentuk semacam dewan perwakilan yang disebut Bate Salapanga.
BACA JUGA: Panon Hideungâ¦Hikayat Pertemuan Nada Dunia
“Bate Salapanga ini dibentuk untuk mengawal kesepakatan itu. Tugasnya, antara lain, memberi nasehat kepada raja,” papar Dr. Hilmar Farid, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Ilmuwan yang kini menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bercerita, seiring berjalan waktu, Raja Tunatangka’ Lopi membagi kerajaan menjadi dua; Gowa dan Tallo.
BACA JUGA: Cerita Letusan Gunung Agung dalam Literasi Bali Kuno
Raja Gowa menjadi sultan, Raja Tallo menjadi mangkubumi atau perdana menteri.
“Wilayah kekuasaan kerajaan kembar ini terus bertambah melalui kombinasi perang dan persekutuan,” katanya.
Satu per satu, negeri lain di bagian selatan Sulawesi ditaklukkan. Mulai dari Parigi sampai Siang, dari Lembangan sampai Bulukumba.
Persekutuan para pemimpin Goa dan Tallo terjadi di Maros dan Polombangkeng. Pusat kerajaan ada di Makassar.
“Wilayahnya berlokasi di persimpangan jalur maritim yang menghubungkan bagian barat Nusantara dengan bagian timur, utara dengan selatan, pada awal abad ketujuhbelas.”
Senarai sejarah yang ini dicuplik-sarikan dari hasil kajian Hilmar Farid.
Fay--begitu alumni jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini biasa disapa—pernah menceritakannya saat Pidato Kebudayaan di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Cikini, 10 November 2014.
Bagi yang belum pernah mendengar Pidato Kebudayaan Pak Dirjen Kebudayaan, berikut secuplik kisahnya. Judulnya Arus Balik Kebudayaan--Sejarah Sebagai Kritik.
Dikisahkan, dipimpin bersamaan oleh dua kerajaan kembar; Goa dan Tallo, Makassar menjelma jadi kota pelabuhan internasional. Lengkap dengan kantor perwakilan dagang Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Tiongkok.
Pada masa kepemimpinan Sultan Malikussaid (1639-1653), Makassar dengan wilayah kekuasaan mencakup hampir seluruh bagian selatan Sulawesi, berbatasan dengan Luwuk dan Mandar di sebelah utara, sudah jadi kota dagang terbesar di Asia.
Armadanya berkuasa atas Selat Makassar, sebagian Laut Jawa dan Laut Flores dan Laut Aru.
Fokus pada penguasaan wilayah laut, Makassar berhasil muncul sebagai sebuah kerajaan maritim dalam arti yang sesungguhnya.
Menurut dia, pertumbuhan Makassar yang pesat tidak dapat dilepaskan dari peran para mangkubumi atau pa’bicarabutta, terutama Karaeng Matoaya dan putranya, Karaeng Pattingaloang.
Karaeng Matoaya menjadi mangkubumi di masa Sultan Alauddin.
Pemerintahan mereka kemudian diteruskan oleh kedua anak mereka Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang.
Figur Karaeng Pattingaloang ini sangat menarik. Ia seorang polyglot yang menguasai bahasa Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, Arab, Melayu di samping beberapa bahasa lokal yang digunakan di Makassar waktu itu.
Seorang misionaris Katolik yang tinggal di Makassar pada tahun 1646 mengaku bahwa Pattingaloang berbicara bahasa Portugis seperti seorang penutur asli.
Ia bekerja di sebuah ruangan khusus, seperti layaknya orang terpelajar Eropa di masa itu, yang dilengkapi dengan perpustakaan yang dipenuhi buku, peta dan atlas dunia.
Dari ruangan itu ia mengatur diplomasi kerajaan dengan perwakilan Raja Spanyol di Manila, Raja Portugis di Goa, dan Raja Inggris dan penguasa Mekkah.
Di masa itu mengirim surat adalah tanda adanya hubungan diplomatik yang sangat penting walau waktu untuk mengirimnya lama sekali, kadang sampai beberapa tahun bergantung pada rute perjalanan pembawa surat.
Tapi ada satu negeri yang sulit ditaklukkan, dan terletak justru di sebuah enclave kecil di wilayah kesultanan Makassar sendiri, yakni Bone.
Kesultanan Bone
Seperti Gowa-Tallo, Kesultanan Bone muncul pada akhir abad keempatbelas dari persekutuan tujuh negeri yang berdekatan dan bersepakat untuk menggabungkan kekuatan.
Sejak awal hubungan keduanya, Makassar dan Bone, diwarnai perang dan damai dari masa ke masa, terutama karena sifat dominan dari para penguasa Makassar terhadap penguasa dan rakyat Bone.
Berulangkali Bone melancarkan pemberontakan terhadap Makassar dan berulangkali pula pemberontakan itu dipatahkan.
Salah satu tokoh pemberontakan itu adalah Aruppalakka.
Pada 1660 ia memimpin 10.000 orang dari Bone dan Soppeng untuk perang melawan Makassar. Perang berlangsung tiga bulan dan berakhir dengan kemenangan Makassar.
Setelah gagal, Aruppalakka melarikan diri ke Buton dan akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan VOC di Batavia.
Kisah yang sama berulang kembali. VOC yang sudah lama ingin menguasai Makassar bergembira menyambut kedatangan Aruppalakka dan segera saja mengatur siasat untuk melancarkan serangan.
Tiga tahun mereka menyiapkan sebuah pasukan gabungan dan akhirnya pada tanggal 21 Desember 1666 armada VOC yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal Cornelis Speelman menyerang Benteng Somba Opu di Makassar.
Setelah perang selama hampir setahun lamanya yang melibatkan penguasa Buton, Ternate, Tidore, Bacan, Soppeng dan lainnya di pihak Bone dan VOC, akhirnya Sultan Hasanuddin setuju untuk melakukan perundingan damai di Bungaya.
VOC menuntut agar Makassar melepas semua daerah kekuasaannya di Sulawesi maupun daerah lainnya dan membiarkan VOC membangun benteng di kota perdagangan itu.
Perjanjian yang tidak adil membuat Sultan Hasanuddin kembali angkat senjata. Hanya saja posisinya sudah jauh lebih lemah.
Pada 12 Juni 1669 setelah satu setengah tahun berperang, akhirnya Benteng Somba Opu yang terkenal itu jatuh, dan masa kejayaan Makassar sebagai sebuah kota perdagangan maritim internasional pun berakhir. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapan Gunung Agung Pertama Kali Meletus?
Redaktur & Reporter : Wenri