Sehari Rp 3 Miliar dari Kepiting Saja

Selasa, 19 Maret 2019 – 14:36 WIB
Sudirman, nelayan di Desa Tanjung Pelayar Kecamatan Pulau Laut Tanjung Selayar, memperbaiki jaring kepitingnya. Foto: Zalyan S Abdi/RADAR BANJARMASIN

jpnn.com, TARAKAN - Pengiriman kepiting bertelur dari Kalimantan Utara (Kaltara) ke Malaysia secara ilegal sudah menjadi rahasia umum. Hal tersebut sudah lama dilakoni sejumlah pengusaha di Kaltara.

Hal tersebut diungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltara Ir. H. Amir Bakry, M.P.

BACA JUGA: Waspada Gelombang Tinggi Hingga 4 Meter

Penjualan kepiting bertelur ke luar negeri secara illegal telah berlangsung sejak lama, jauh sebelum terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 56/2016.

“Jalan (pengeluaran oleh pengusaha) setiap hari. Tetap jalan. Makanya jika nanti ada kebijakan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kami dahulukan dengan kajian. Itu yang akan sampaikan ke Kementerian (KKP). Apalagi kita di sini, daerah perbatasan. Pelemparan kita lebih dekat dengan Tawau, Malaysia,” ujar Amir kepada Radar Tarakan (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Nelayan Unjuk Rasa: Tolonglah, Kami Masyarakat Menderita

BACA JUGA: Nelayan Unjuk Rasa: Tolonglah, Kami Masyarakat Menderita

Aksi yang dilakukan ribuan nelayan dalam dua kesempatan, patut menjadi pertimbangan KKP. Perekonomian Kaltara masih ditopang oleh sektor perikanan. Komoditas kepiting menjadi salah satu yang utama.

BACA JUGA: 38 Nelayan yang Ditangkap di Luar Negeri Berhasil Dipulangkan

“Di Kaltara ini, potensi perikanan khususnya kepiting cukup besar, dan populasi luasan mangrove di Kaltara masih ada 180 ribu hektare. Tambak 149 ribu. Masih ada keseimbangan tambak dan luasan mangrove. Ini dengan kajian. Lantas kalau diambil setiap hari, apakah masih memungkinkan? Itu yang perlu kita tahu,” urainya.

Menurut Amir, kepiting-kepiting yang dibawa menuju Tawau, Malaysia merupakan hasil tangkapan dari alam. “Kepiting yang masuk ke tambak, kemudian membesar di tambak bersama dengan komoditas seperti bandeng, udang yang dibudidayakan. Setiap masyarakat panen, ada kepiting. Masuk secara alami. Namanya kepiting bakau,” terang Amir.

Amir pun mengajak semua pihak yang berkepentingan di dalam upaya melegalkan pengeluaran kepiting dari Indonesia menuju Malaysia bersama-sama menghadap ke KKP. DKP juga tak henti-hentinya menyampaikan aspirasi masyarakat ke KKP.

“Ayo sama-sama ngomong ke KKP, sama-sama HNSI persoalan ini kita bawa ke Jakarta. Saya juga sudah menyampaikan aspirasi demo dua hari ini. Saya upload terus ke Kementerian (KKP), kegiatan aspirasi masyarakat ini. Dan itu sudah direspons, dari Ditjen Perikanan Tangkap dan Budi Daya. Kami sudah sampaikan bahwa kami akan menyurat menyampaikan aspirasi masyarakat dengan didukung kajian teknis dan kajian akademis, dan nanti dari sana, tim dari Kementerian turun ke sini,” ujarnya.

Menyoal penangkapan dalam beberapa kesempatan oleh sejumlah stakeholder seperti Badan Karantina Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), TNI AL, menurutnya juga tak lepas dari tugas masing-masing instansi.

“Kami juga banyak diskusi dengan Pak Umar (kepala BKIPM) di sini. Permen ini memang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Karantina (BKIPM). Di Indonesia ini, Papua dan Kaltara yang masih bagus ekosistem kepitingnya. Banyak contoh daerah lain, susah sudah kepiting ini. Itu yang dikhawatirkan,” imbuhnya.

Menurut Amir, penangkapan kepiting di Kaltara setiap harinya sekira 10-15 ton. “Kalau mau dikurskan, rata-rata Rp 200 ribu sekilo, sehari Rp 3 miliar-an duit beredar untuk kepiting saja. Memang cukup menjanjikan,” beber dia.

Selain kajian akademis mengenai populasi kepiting bakau di Kaltara, DKP juga telah mengutus petambak belajar ke Balai Perikanan Budi Daya Air Payau di Takalar, Sulawesi Selatan. “Kami beri pendampingan. Dia mau bikin pembibitan kepiting skala rumah tangga. Jika itu berhasil, dan telur kepiting berhasil ditetaskan itu, itu salah satu solusi paling bagus,” urainya.

BACA JUGA: Tengah Malam Jokowi Mengejutkan, Tiga Pekan Berselang Fadli Zon Datang

“Kepiting ini paling mudah dibudidayakan, karena hamanya enggak banyak. Makanannya juga mudah. Makan ikan rusak pun boleh. Mudah-mudahan dengan ada keberhasilan dari usaha itu,” tambahnya.

Kajian akademis yang akan diserahkan ke Kementerian, harapannya dapat diterima. Namun patut menjadi pertimbangan jika pengeluaran kepiting bertelur ke luar negeri benar-benar dilegalkan menyoal keamanannya.

“Cuma kita juga harus wanti-wanti. Karena pelemparan kita ke Tawau. Jangan sampai ini komoditas dilegalkan, justru ada permainan dari sebelah (Tawau). Sekarang ini ilegal, memang harga bagus. Kalau umpamanya dibolehkan, itu juga harus kita antisipasi. Jangan sampai mereka di sana suka-sukanya beli berapa. Ini kan orang tertentu saja yang bisa kerja. Enggak semuanya. Yang lain hanya mengepul. Perlu dipikirkan itu, jangan kita cuma tahu jual. Jadi pertimbangan juga, di sini ada disiapkan pesawat, kenapa tidak diekspor langsung dari sini. Jangan kita cuma pengirim. Kita harus jadikan daerah kita daerah pengekspor,” ulasnya.

“Data yang sampai di Kementerian. Salah satu daerah pengekspor kepiting terbesar itu Tawau. Kepiting di Tawau dari siapa? Nah. Jadi kita ini bukan mengekspor, tapi mengirim. Justru namanya Tawau yang harum. Bahan bakunya dari kita, Tawau yang menikmati,” bebernya lagi.

Amir mengungkap, jika perlintasan masih terus dipantau. Seperti jenis kepiting jantan, pasti melalui proses pemeriksaan. “Kalau yang betina, mereka pakai speedboat cepat. Kalau kita lihat perbandingan yang dibawa ke Tawau itu, 60 persen jantan. Resmi, 40 persen tidak resmi,” jelasnya.

Asisten I Bidang Pemerintahan Sekretariat Provinsi (Setprov) Kaltara H. Sanusi mengatakan tidak serta merta keinginan untuk melegalkan pengeluaran kepiting bertelur itu dengan payung hukum peraturan gubernur (pergub) atau peraturan daerah (perda) dapat dilakukan. Salah satu pertimbangannya, rawan gugatan.

“Berkaitan dengan Permen 56 Tahun 2016, memang sebenarnya bukan kewenangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara. Memang tidak bisa diatur dalam pergub. Dalam Permen jelas, bahwa untuk ekspor kepiting sudah ditentukan kriterianya, minimal ukuran, beratnya. Kan 15 Desember sampai 5 Februari boleh ekspor kepiting betina. Tetapi, kalau lebih dari itu tidak boleh,” ulasnya.

“Persoalannya kalau Gubernur mau membuat pergub, lantas siapa yang menjamin bahwa pergub itu aman? Dan kami enggak mau datang percuma ke Kementerian. Bahwa kepiting betina misalnya disampaikan dari budi daya. Kalau memang budi daya harus ada pembuktiannya? Bagaimana pembuktiannya? Tolong itu diberikan kepada kami pembuktiannya. Nanti kami akan fasilitasi ke Kementerian,” jelas mantan kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Nunukan ini.

“Jadi tugas Gubernur itu bukan menganulir kebijakan yang diatur Kementerian. Enggak boleh,” tambahnya.

Sebelumnya, nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kaltara menyoal penegakan Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketua HNSI Kaltara H. Nurhasan mengungkapkan, ekspor kepiting menjadi salah satu mata pencaharian bagi ribuan warga dalam struktur perikanan di Tarakan. “Aturan (Permen-KP 56) ini membuat kami masyarakat Kaltara khususnya Tarakan, sangat menderita,” ungkapnya.

Menurutnya, harusnya Pemprov turun tangan. Pengecualian terhadap Permen-KP, menurut dia, pernah dilakukan gubernur Jawa Tengah. “Kami mungkin bisa mengerti, tapi masyarakat yang turun ini menderita. Jadi apa pun langkahnya akan kami perjuangkan,” tuturnya.

Terhadap adanya Permen tersebut, lanjut Nurhasan, para nelayan dan petambak kepiting juga sudah melakukan berbagai cara agar bisa mengekspor kepiting hasil budi daya. Mulai dari pembibitan, tempat penetasan, dan budi daya pembesaran.

“Namun di Permen 56 itu menyebutkan hasil budi daya kepiting bertelur pun tidak boleh diekspor. Padahal ada undang-undang budi daya memperbolehkan apa pun hasil budi daya bisa diekspor,” bebernya.

Syamil, salah seorang nelayan dari Jalan Karungan, Tarakan Timur mengaku jika kepiting menjadi penyambung hidup bagi mereka yang bekerja dalam usaha pertambakan. “Penjaga tambak itulah dijualnya. Cuma katanya dilarang lagi,” kata Syamil yang membaur dengan peserta aksi lainnya. (lim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 6 Nelayan Sumut Dipulangkan dari Malaysia


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler