jpnn.com - SEBAGAIAN kalangan bilang, inilah puncak zaman teknologi komunikasi. Zaman internet. Di negeri yang hari ini bernama Indonesia, teknologi jenis ini mulai dirintis pada akhir 1916.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Ini Episode yang Hilang dari Buku Sejarah Indonesia?
Cornelius Johannes de Groot (1883-1927) lulus dari Delftse Polytechnische School, Karlsruhe, Jerman dengan disertasi Radiotelegrafie In The Tropen.
Dalam disertasinya, mahasiswa Teknik Listrik dan Rekayasa Mekanis itu menyatakan perlunya hubungan radio secara langsung antara Belanda dan Hindia Belanda.
BACA JUGA: Tukang Cukur & Perang Salib, Lho Apa Hubungannya?
Kendati diragukan, "dia yakin, secara teknis hal itu bisa dilakukan,” sebagaimana dicuplik dari buku The Year-book of Wireless Telegraphy & Telephony terbitan Marconi Press Agency Limited, 1920.
Langkah baik, pria bertubuh tambun itu diterima bekerja di Departemen Pos Telepon dan Telegraph (PTT) Hindia Belanda.
BACA JUGA: Dan Kata-Kata Belum Binasa
Ia lalu memimpin serangkaian percobaan komunikasi radio untuk menghubungkan Hindia Belanda dengan Belanda.
Setelah mematangkan hitung-hitungannya, pada akhir 1916, Groot mulai mendirikan pemancar di kaki Gunung Malabar, Bandung Selatan.
Lokasinya terjal. Menuju ke sana, peralatan berat berupa besi-besi dan mesin-mesin pelengkap stasiun pemancar radio itu diangkut lewat jalan setapak. Kecil. Menanjak dan berliku.
Medan yang berat tak menyurutkan mimpinya.
Groot merentangkan antena pada dua sisi lereng gunung sepanjang kurang lebih dua ribu meter.
Ketinggian rentangan kabel rata-rata 250-750 meter di atas permukaan laut, atau rata-rata 350 meter di atas permukaan tanah. Ini teknik berbeda dari pemasangan antena pada umumnya.
Perangkat teknologi tersebut dipesan dari perusahaan elektronik Jerman, Telefunken.
***
Bandung, 5 Mei 1923. Pagi-pagi sekali Gubernur Jenderal de Fock beserta rombongan keluar dari penginapan di hotel Preanger.
Iring-iringan kendaraan bergerak melintasi Dayeuhkolot ke arah perbukitan Bandung Selatan. Setelah melampaui Ciwidey, sampailah mereka di kaki Gunung Malabar.
Hari itu de Fock meresmikan pemancar radio Malabar, “stasiun radio pertama yang menghubungkan Belanda dan Hindia Belanda,” tulis Haryadi Suadi dalam Riwayat Radio Republik Indonesia.
Empat tahun kemudian…
Belanda melakukan percobaan siaran radio gelombang pendek (shortwave atau SW) melalui pemancar PCJ dari laboratorium Philips di Eindhoven ke Hindia Belanda.
Merujuk situs Radio Nederland Wereldomroep, sewaktu melakukan siaran percobaan itu, almanak bertanggal 11 Maret 1927.
Berhasil. Perjuangan Groot tak sia-sia. Belanda terhubung dengan Hindia Belanda. Ini menandai titik tolak kemajuan dunia telekomunikasi penyiaran.
Sejawaran Rudolf Mrazek, penulis buku Engineers of Happy Land menyebut, pemancar Malabar di pegunungan Jawa Barat adalah titik fokus alamiah dan simbol paling ampuh radio Hindia Belanda.
Dua puluh hari kemudian, Ratu Wilhelmina menyapa rakyat di wilayah koloninya dari laboratorium radio Philips.
Siaran internasional yang dipancarkan secara live pada 31 Maret 1927 itu berhasil ditangkap di Australia, Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Jawa.
“Malam itu orang-orang di Pura Mangkunegaran berkumpul di Prangwedanan bersama Mangkunegara VII dan permaisuri Gusti Ratu Timur,” tulis Sarsito dalam Triwindoe Mangkunegoro VII Gedenkboek (1939).
Melalui radio Philips jenis Tombstone, “mereka mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina. Itu adalah suatu saat yang tak terlupakan,” kenang Sarsito.
Baca juga: Inilah yang terjadi ketika orang Indonesia pertama mendengar radio.
Setelah pidato live Sang Ratu, selain bertalian dengan kepentingan politik propaganda kolonial, Philips melihat prospek bisnis.
Semenjak itu, “Philips langsung memproduksi radio secara massal,” kata Didi Sumarsidi, ketua komunitas pecinta radio kuno Padmaditya, tempo hari.
Situs resmi Philips melansir, mereka mulai serius memproduksi radio sejak 1927.
Hingga 1932, Philips telah menjual satu juta radio dan langsung menjelma jadi produsen radio terbesar di dunia.
Bahkan Philips mendirikan pabrik di Hindia Belanda.
***
Cornelius Johannes de Groot, si pembawa teknologi komunikasi ke negeri yang hari ini bernama Indonesia, berpulang pada 1 Agustus 1927.
Namanya diabadikan oleh Walikota Bandung B. Coops sebagai nama jalan di kota itu: Dr de Grootweg (kini Jalan Siliwangi).
Pemancar Malabar hanya tinggal cerita. Kompleks stasiun radio Malabar yang megah itu dihancur-leburkan oleh laskar rakyat saat meletus peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
“Saya yang menghancurkan,” aku Entang Muchtar, dikutip Her Suganda dalam Jendela Bandung.
Entang bersama tiga kawannya menghancurkan stasiun radio Malabar dengan dinamit setelah mendapat perintah dari Mayor Daan Yahya.
Hari itu, “bumi seakan terguncang dan suara ledakan sangat memekakkan telinga. Ledakan pertama disusul ledakan-ledakan berikutnya sehingga seluruh bangunan luluh-lantak,” kenangnya.
Oiya, omong-omong sejarah radio, Indonesia memperingati Hari Radio tiap 11 September.
Landasannya, pada tanggal itu di tahun 1945, Radio Republik Indonesia (RRI) pertama mengudara, setelah para wartawan merebut kantor radio Jepang, Hosokyoku.
Stasiun RRI yang pertama di Jawa ada delapan buah. Yakni, bekas Hosokyoku di Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.
Pada masa revolusi (1945-1949), selain RRI, dikenal juga radio-radio perjuangan.
Di antaranya Radio Pemberontakan di Surabaya, Malang dan Solo, di mana Bung Tomo mengobarkan semangat perjuangan.
Ada juga Radio Internasional Indonesia di Kediri; Gelora Pemuda di Madiun; Radio Militer dan Radio Indonesia Raya di Yogyakarta; Radio Perjuangan di Semarang.
Dan yang cukup melegenda, Radio Rimba Raya di Aceh. (wow/jpnn)
Baca juga: Inilah yang terjadi ketika orang Indonesia pertama mendengar radio.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bung, Ayok Ke Palangka...
Redaktur & Reporter : Wenri