Di saat Indonesia disebut sebagai episentrum dari pandemi COVID-19, bermunculan berbagai upaya dan inisiatif untuk meringankan situasi. Mulai dari penyediaan tempat isolasi gratis hingga pemberian santunan bagi tenaga kesehatan.

Pada akhir Juli ketika ruang-ruang ICU seluruh rumah sakit di Kota Makassar, Sulsel, nyaris penuh dan kasus COVID terus meningkat (apakah ada data kapasitas tempat tidur di Makassar?), Dokter Hisbullah Amin tak mau lagi berpangku tangan.

BACA JUGA: Memastikan Oksigen Medis Terpenuhi, Irjen Iqbal Sudah Menyiapkan Strategi

Bersama mahasiswanya di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dia membentuk Kawasan Karantina Terpadu di gedung Diklat Departemen Kesehatan setempat yang memiliki kapasitas 80 tempat tidur.

"Total pasien yang dirawat per hari ini (03/08), berjumlah 126 orang," jelas Dr Hisbullah.

BACA JUGA: Jerinx Sedih Melihat Warga Berebut Makanan: Mereka Kayak Zombi

"Pasien yang sudah pulang karena dinyatakan telah negatif sebanyak 12 orang," tambahnya.

Dimulai sejak 23 Juli lalu, kawasan karantina ini bertujuan menampung orang yang terinfeksi COVID namun tanpa menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan. 

BACA JUGA: Klasemen Olimpiade Tokyo 2020: Indonesia Masih Terbaik Asia Tenggara

Dr Hisbullah mengakui hati nuraninya terpanggil untuk turut mengatasi situasi.

"Karena kasus terus meningkat sangat cepat di Sulsel sementara ruang isolasi yang dikelola pemerintah saat itu belum ada," ujar Dr Hisbullah kepada wartawan ABC Indonesia Farid M. Ibrahim.

Ia menjelaskan, pasien yang sedang dalam perawatan berjumlah 54 orang, sedangkan sekitar 60 pasien lainnya difasilitasi untuk mendapatkan perawatan di luar rumah sakit.

Selama menjalani isolasi, para pasien tersebut terus dimonitor dengan pemeriksaan kesehatan tiap hari mencakup pengecekan tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu dan saturasi.

Mereka juga diberikan vitamin dan obat-obatan sesuai keluhan, disediakan makanan dan snack harian, disiapkan laundry, serta melakukan kegiatan senam dan berjemur.

"Bantuan diantar langsung oleh masyarakat. Kami juga menerima donasi yang per hari ini (03/08) sudah mencapai Rp100 juta lebih," jelas Dr Hisbullah.

Dengan berbagai fasilitas dan layanan yang diberikan secara gratis, kawasan karantina ini tak ayal lagi menerima banyak permintaan. 

Menurut Dr Hisbullah, sebanyak 521 orang yang positif dari berbagai tempat di Sulsel telah mendaftarkan diri, namun karena kapasitas yang terbatas mereka harus menunggu.

Karena itu tim relawan COVID telah meminta kepada puluhan instansi pemerintah untuk peminjaman gedung-gedung diklat yang kosong.

"Kami mengirim surat kepada 16 lembaga diklat tapi sudah satu minggu belum ada tanggapan," ujarnya.

Hingga Selasa kemarin, data COVID yang dirilis Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya 1.131 kasus harian dan 17 orang yang meninggal dunia di Sulsel. Bantuan untuk keluarga perawat yang gugur

Di Jawa Timur, sejak pandemi tahun lalu, tercatat sekitar 10 persen perawat yang aktif bertugas di lapangan tertular COVID-19.

"Dari 56 ribu perawat aktif, terkonfirmasi positif COVID sebanyak 5.224 orang dan yang meninggal sebanyak 216 orang," jelas Profesor Dr Nursalam, ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jatim, kepada ABC.

"Mereka ini merupakan perawat yang memberikan pelayanan di rumah sakit, puskesmas, klinik mandiri dan tempat lainnya di 38 kota dan kabupaten," tambahnya.

Jumlah kematian perawat sebanyak itu, membuat Prof Nursalam sangat prihatin. Apalagi, perhatian dan bantuan bagi mereka sangat minim.

Berbekal kemampuan sendiri yang terbatas, PPNI Jatim telah menyalurkan bantuan APD kepada para perawat sejak tahun lalu.

Mereka juga memberikan uang duka kepada keluarga perawat yang meninggal (hanya untuk double check apakah anggota PPNI patungan untuk uang duka?)

"Sedangkan untuk perawat yang terkonfirmasi positif, kami hanya mampu memberikan bantuan sebesar Rp300 ribu - Rp500 ribu," kata Profesor Nursalam. 

"Tidak ada uang atau bantuan sepeser pun dari pemerintah atau perusahaan [untuk mereka yang positif?]," ujarnya.

Dari 216 perawat di Jatim yang meninggal akibat COVID, menurut Profesor Nursalam, sejauh ini baru 19 keluarga mereka yang telah mendapatkan santunan dari pemerintah.

Padahal, sepanjang tahun 2021 ini, setiap bulan selalu ada perawat yang meninggal, kecuali di bulan Mei. Jumlah terbanyak terjadi pada Juli lalu dengan 93 kematian.

"Dalam sehari kasus kematian mencapai 2 hingga 3 perawat," jelasnya.

Selain itu, 445 perawat lainnya kini terkonfirmasi positif dan 10 persen di antaranya menjalani perawatan di rumah sakit.

"Jumlah perawat yang terkonfirmasi ini belum seluruhnya, dikarenakan tidak semua rumah sakit terbuka dengan kondisi nakes mereka," kata Prof. Nursalam.

Kondisi yang dialami perawat di Jatim ini telah mendorong sejumlah akademisi di Australia untuk melakukan penggalangan dana.

Simak liputan pandemi COVID-19 di ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masalah Tersembunyi di Australia: Migran dan Pengungsi Paling Banyak Jadi Gelandangan

Berita Terkait