Sejumlah Pekerjaan Rumah Menanti Menteri Pariwisata Baru

Selasa, 29 Oktober 2024 – 17:59 WIB
Sekjen PHRI Maulana Yusran. Foto: tangkapan layar YouTube akun Elshinta

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Pariwisata Kabinet Merah Putih Widiyanti Putri memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang perlu menjadi prioritas untuk dituntaskan. Hal itu seiring adanya sejumlah persoalan yang belum selesai di masa sebelumnya. 

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkap permasalahan industri pariwisata yang tidak tersorot oleh pemerintah. Salah satunya adalah terkait dengan aktivitas online travel agent (OTA) asing di Indonesia.

BACA JUGA: PHRI Titip Pesan kepada Prabowo Soal Calon Menteri Pariwisata Idaman

Hal ini terkait keberadaan OTA asing yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia sehingga disinyalir tidak mengikuti regulasi yang ada. Salah satu praktiknya membebankan PPN serta pajak komisi kepada pihak hotel, yang  tentu saja merugikan sektor akomodasi lokal di tengah pemulihan setelah pandemi.

"Permasalahan regulasi dan birokrasi kerap menjadi penghambat bagi para pelaku usaha pariwisata. Salah satu masalah utama adalah keberadaan OTA asing yang beroperasi tanpa Badan Usaha Tetap (BUT)," ungkap Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, Selasa (29/10).

BACA JUGA: Soroti Travel Asing, PHRI Minta Pemerintah Adil

Situasi ini merugikan sektor akomodasi, karena OTA asing tidak membayar pajak dan memberlakukan sistem parity rate yang membatasi harga jual hotel.

"OTA asing ini tidak memiliki NPWP, jadi industri lokal yang akhirnya harus menanggung pajak sebesar 20 persen. Ini beban besar,” jelas Alan, sapaan akrabnya.

BACA JUGA: INCCA dan Asperapi Minta Menteri Pariwisata dari Profesional yang Paham MICE

Terkait hal ini, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengamini adanya permasalahan terkait pajak yang dibebankan kepada pihak hotel.

Menurutnya, dalam transaksi penjualan voucher hotel, OTA asing seharusnya menjadi pihak yang memungut dan menyetor pajak pertambahan nilai (PPN) ke pemerintah, bukan hotel.

"Ketika OTA asing membeli (voucher) dari hotel dan menjual kembali kepada konsumen, mereka harus menerbitkan faktur yang mencantumkan PPN. Ini menjadi masalah jika pajak tersebut tidak dipungut oleh OTA," ujarnya.

Pajak OTA ini mesti menjadi perhatian pemerintahan yang baru, untuk melakukan penegakan aturan tegas. Dia juga menggarisbawahi bahwa diskon yang sering ditawarkan oleh OTA asing dapat merugikan hotel. 

"Diskon yang diberikan OTA berasal dari keuntungan pajak yang tidak mereka bayar, sementara hotel tetap harus membayar PPN meskipun harga sudah dipotong," ucap Huda. 

Hal ini membuat posisi hotel semakin sulit, karena mereka tidak hanya bersaing dengan harga, tetapi juga harus menanggung beban pajak yang seharusnya menjadi tanggung jawab OTA.

 Lebih lanjut, Huda menekankan perlunya pengaturan secara jelas siapa  memungut, siapa yang dipungut, dan siapa  membayar pajak. 

"Pemerintah perlu memastikan OTA asing yang beroperasi di Indonesia harus taat aturan pajak berlaku," ujarnya.

Jika situasi ini dibiarkan, memang industri pariwisata secara keseluruhan akan tetap berjalan karena banyaknya orang bepergian. Namun, di sisi lain, OTA lokal akan mengalami dampak negatif karena pangsa pasar mereka tergerus oleh OTA asing, pihak hotel juga dirugikan. 

"Dengan pengaturan tepat, industri pariwisata dapat berkembang lebih baik, memberikan manfaat bagi semua pihak, termasuk konsumen dan pelaku usaha lokal," tutupnya. (esy/jpnn)


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler