Sejumlah Pemda Beri Insentif Dokter Spesialis Hingga Rp 70 Juta per Bulan

Sabtu, 23 Maret 2019 – 05:42 WIB
Dokter. ILUSTRASI. Foto: Pixabay.com

jpnn.com, SAMARINDA - Minimnya fasilitas dan insentif menjadi alasan dokter spesialis enggan masuk ke pelosok atau daerah terpencil di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).

Kondisi itu ditengarai juga jadi alasan sering membeludaknya pasien di sejumlah rumah sakit. Sebab, banyak masyarakat dari pelosok harus ke ibu kota untuk mendapatkan layanan kesehatan yang baik dan berkualitas.

BACA JUGA: Tunggu Aturan Baru Pengganti WKDS, Pengiriman Dokter Spesialis Tetap Jalan

Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim Soeharsono mengakui, distribusi dokter spesialis di Bumi Etam memang belum merata. Selain karena jumlah yang terbatas, minat ke daerah terpencil juga sangat rendah.

“Kalau ke daerah terpencil, kan bukan daerah yang surplus bagi profesi dokter spesialis. Misalnya mereka tidak bisa membuka praktik. Mungkin mereka juga mempertimbangkan gaji yang diterima,” kata dia kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).

BACA JUGA: Caleg DPR: Rp 100 Ribu x 100 Ribu Suara = Rp 10 Miliar

Distribusi dokter spesialis ke setiap kabupaten/kota, sambung dia, dulu pernah dilaksanakan Diskes Kaltim berupa program wajib kerja dokter spesialis. Mereka diprioritaskan mengisi rumah sakit di daerah terpencil. Khususnya di rumah sakit pratama.

BACA JUGA: Tunggu Aturan Baru Pengganti WKDS, Pengiriman Dokter Spesialis Tetap Jalan

BACA JUGA: Kaltim Sumbang Rp 500 T dari Migas, Dana Perimbangan Hanya Rp 20 T

“Penempatan dokter spesialis itu khususnya untuk empat dasar. Dokter bedah, penyakit kandungan, anak, dan penyakit dalam. Khusus dokter bedah, pasangannya harus ada dokter anestesi,” tuturnya.

Penempatan dokter spesialis di rumah sakit pratama melalui proses pengajuan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Para dokter spesialis yang baru lulus diwajibkan ditempatkan di daerah. Sebagaimana amanat Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis.

Namun belakangan, pelaksanaan aturan itu ditunda. Sebab, ada sejumlah dokter spesialis yang mengajukan gugatan terhadap aturan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan berbagai pertimbangan, gugatan itu diketahui dikabulkan MK untuk ditinjau ulang.

“Para dokter spesialis beralasan, aturan itu tidak boleh mewajibkan. Kecuali mereka dibiaya pendidikannya oleh Kemenkes, boleh-boleh saja. Makanya, daerah harus mengupayakan memberikan insentif bagi dokter-dokter spesialis agar mereka tertarik ke daerah terpencil,” sarannya.

Inovasi dan keberanian kabupaten/kota memberikan insentif khusus bagi dokter spesialis dapat menjadi solusi tepat. Misalnya dengan memberikan tunjangan gaji atau profesi yang memadai, perumahan, dan sarana pendukung lainnya.

Tidak sedikit peralatan medis yang dimiliki rumah sakit di kabupaten/kota yang belum tersedia. Akibatnya dokter menjadi enggan ditempatkan di daerah. Sehingga kualitas pelayanan kesehatan yang mereka berikan kepada pasien juga menjadi tidak begitu maksimal, bahkan tidak jalan.

Atas alasan itu, Diskes Kaltim mengimbau setiap pemerintah kabupaten/kota melakukan kajian. Khususnya menyiapkan setiap fasilitas kesehatan yang dibutuhkan dokter spesialis. Termasuk aturan pemberian insentif perlu dibuatkan pemerintah daerah.

“Ada beberapa kabupaten/kota yang memberikan tambahan insentif kepada dokter spesialis. Misalnya dokter bedah, ada yang menerima insentif Rp 60 juta hingga Rp 70 juta per bulan. Sebab, mereka tidak bisa berpraktik kalau ditempatkan di daerah,” tuturnya.

Merujuk data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim pada 2018, dokter yang sudah bekerja di Kaltim mencapai 2.235 orang. Sebanyak 1.657 dokter umum dan 578 dokter spesialis. Para dokter-dokter itu masih tersentral di daerah perkotaan seperti di Balikpapan, Samarinda, dan Bontang.

Soeharsono menerangkan, rasio pelayanan kesehatan untuk satu dokter umum berbanding 2.500 pasien, atau 40 dokter per 100 ribu penduduk. Sementara untuk satu dokter spesialis, satu per 10 ribu penduduk.

“Sampai saat ini sudah ada 49 rumah sakit yang beroperasi di Kaltim. Baik itu milik pemerintah maupun milik swasta. Kemudian ada 187 puskesmas. Dan semua kecamatan sudah memiliki puskesmas,” ungkap dia.

Dasar acuan bagi pelayanan kesehatan di puskesmas yakni satu berbanding 30 ribu penduduk. Jika merujuk angka itu, Kaltim belum dapat menjangkau semuanya. Acuan lainnya minimal satu kecamatan satu puskesmas.

“Kalau merujuk yang kedua itu, maka pelayanan kesehatan melalui puskesmas sudah memenuhi. Sebab, semua kecamatan di Kaltim sudah mempunyai puskesmas,” sebutnya.

Disebutkan, realisasi anggaran kesehatan sebesar 10 persen pada APBD Kaltim sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah dipenuhi pemerintah.

“Dari APBD Kaltim 2019 Rp 10 triliun, dana kesehatan sekitar Rp 1 triliun. Anggaran itu tidak hanya untuk Dinas Kesehatan. Tapi juga untuk ke rumah sakit,” ungkap dia.

Sementara itu, untuk standardisasi waktu pelayanan kesehatan yang dianjurkan PB IDI antara 6–10 menit untuk setiap pasien poliklinik spesial, menurut Soeharsono, sepanjang tidak mengurangi kualitas pelayanan, tidak jadi masalah.

“Standardisasi waktu itu perlu. Dengan jam kerja dokter spesialis, tentu mereka bisa menghitung berapa banyak pasien yang bisa mereka layani. Kami tidak ingin, karena pasien yang banyak, kemudian dipaksakan untuk dilayani semua. Akhirnya pelayanan menjadi tidak maksimal,” tandasnya. (*/drh/dwi/k16)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dokter Spesialis PTT Silakan Pilih, PPPK atau CPNS


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler