jpnn.com, JAKARTA - Akan banyak ketentuan baru pada pelaksanaan Pemilu 2019. Sampai sekarang, Pansus RUU Pemilu masih mematangkan aturan main pesta demokrasi itu.
Ada yang sudah disepakati, ada pula yang masih terjadi perbedaan pendapat tajam antarfraksi di parlemen.
BACA JUGA: Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu Harus Terbuka
DPR harus betul-betul bekerja ekstra. Sebab, bulan ini pembahasan undang-undang baru kepemiluan itu harus tuntas. Sekarang panitia kerja (panja) memegang peran penting dalam menuntaskan peraturan tersebut. Panitia yang terdiri atas 19 orang tersebut bekerja maraton.
’’Mereka bahas kata per kata, pasal per pasal, titik dan koma mereka teliti,’’ terang Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy seperti dilansir Jawa Pos, Senin (3/4).
BACA JUGA: 12 Partai Melenggang Ikut Pemilu 2019
Panja merupakan bagian dari pansus. Menurut Lukman, rapat panja dilakukan secara tertutup. Jadi, hanya anggota panja, staf ahli DPR, pemerintah, dan staf ahlinya yang diperbolehkan mengikuti rapat itu. Media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tidak diperkenankan mengikuti.
Legislator PKB itu mengatakan, rapat tersebut membahas persoalan teknis undang-undang. Jadi, tidak ada yang menarik untuk diberitakan. ’’Masak pembahasan kata, kalimat, dan titik-koma diliput,’’ terang dia.
BACA JUGA: KPUD-Panwaslu Kabupaten dan Kota Akan Dijadikan Ad Hoc
Wakil ketua komisi II itu menyatakan, banyak poin baru dalam undang-undang tersebut. Sebagian sudah disepakati dan sebagian lagi menyisakan opsi. Poin krusial yang masih meninggalkan beberapa opsi pendapat akan diputuskan di rapat panja. ’’Sudah kami serahkan ke panja untuk menuntaskan,’’ ungkapnya.
Dari beberapa poin baru yang diputuskan, salah satu yang terpenting adalah pesta demokrasi digelar secara serentak pada 2019 mendatang. Itu bakal menjadi pengalaman baru bagi Indonesia. Pemilu legislatif dan pilpres akan dibarengkan. Jadi, pemilu akan sangat semarak.
Karena serentak, penyelenggara pemilu harus betul-betul bekerja keras untuk melaksanakan pesta demokrasi. Untuk menangani pemilu serentak, dibutuhkan personel yang lebih banyak. Karena itu, jumlah anggota KPU dan Bawaslu pun ditambah.
Anggota KPU yang sebelumnya berjumlah 7 orang ditambah menjadi 11 orang. Anggota Bawaslu yang sekarang 5 orang ditambah menjadi 9 orang. Perubahan juga terjadi di daerah. KPUD provinsi sebanyak 5-7 orang. Lima anggota untuk daerah dengan penduduk di bawah 10 juta dan tujuh orang untuk penduduk di atas 10 juta. Sementara itu, KPUD kabupaten/kota sebanyak 3-5 orang. Tiga orang bagi penduduk di bawah 500 ribu dan lima anggota untuk daerah berpenduduk di atas 500 ribu.
Yang berubah secara krusial adalah badan peradilan pemilu. Peradilan untuk proses pemilu akan ditangani Bawaslu dan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Kewenangan Bawaslu akan bertambah. Selain mengawasi, badan itu berwenang mengadili dan memutuskan pelanggaran pada pemilihan. Jadi, ada empat kewenangan Bawaslu. Yakni, menerima laporan, melakukan penyelidikan, mengadili, dan memutuskan.
Untuk peradilan hasil pemilu, tutur dia, tetap Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani. Jadi, Bawaslu hanya menangani pelanggaran dalam pemilihan. Misalnya, laporan kampanye hitam, kasus calon yang memalsukan dokumen pencalonan, dan keputusan KPU yang menetapkan atau membatalkan pencalonan.
Jika ada yang tidak puas dengan putusan Bawaslu, masyarakat bisa membawa kasus itu ke PTUN. Sebelumnya, lanjut dia, kasus pelanggaran pemilu dibawa ke pengadilan tinggi tata usaha negara (PTTUN) yang hanya ada enam di Indonesia. Setelah ini, masyarakat tidak perlu repot-repot datang ke pengadilan tinggi karena perkara itu bisa dibawa PTUN.
Sementara itu, keterwakilan perempuan dalam politik menjadi salah satu isu krusial yang dibahas Pansus RUU Pemilu. Saat ini keterwakilan perempuan di DPR periode 2014–2019 sebesar 18 persen. Dalam RUU Pemilu, pencalegan diatur agar tetap memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan.
’’Dalam pembahasan yang dilakukan pansus, muncul tiga opsi untuk meningkatkan keterwakilan di DPR,’’ ujar Hetifah Sjaifudian, anggota Pansus RUU Pemilu, dalam keterangannya.
Opsi pertama, keterwakilan perempuan diatur seperti UU Pemilu yang lama dengan memperhatikan 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalegan.
Opsi kedua adalah meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menggunakan sistem zipper murni, yaitu pencalegan 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan dengan nomor urut bergantian di setiap dapil.
’’Misalnya, nomor urut 1 laki-laki, nomor urut 2 perempuan, dan seterusnya,’’ kata Hetifah.
Opsi ketiga adalah meningkatkan keterwakilan perempuan dengan menempatkan caleg perempuan nomor urut 1 di 30 persen dapil. Dalam hal ini, dapil yang diisi keterwakilan perempuan adalah yang mendapat kursi pada Pemilu 2014.
’’Kami mendukung keterwakilan perempuan dengan menempatkan perempuan di nomor urut 1 di 30 persen dapil serta penerapan zipper murni dalam pencalegan,’’ ujar legislator Fraksi Partai Golkar itu.(lum/bay/far/c19/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada LSM Sengaja Menggoreng Isu dan Memfitnah DPR
Redaktur : Tim Redaksi