Bertemu Satpol Tampan Sekali

Minggu, 18 April 2010 – 15:04 WIB
WAKTU semalam, Bung, aku bermimpiBertemu Satpol PP, Bung, tampan sekali

BACA JUGA: Masa Senja Partai Banteng

Aku menjerit, Bung, aduh, sayang sekali hanya dalam mimpi
Padahal jika impian di kala tidur lena itu terjadi dalam realitas, agaknya tragedi Koja tidak akan meletus.

Berbanding terbalik, dalam realitas, kita menangis melihat Koja

BACA JUGA: Bak Antara Kucing dan Tikus

Dua sisi hitam-putih manusia kehilangan "putih"-nya
Maaf, hewaniahnya muncul, daya pikirnya terkubur

BACA JUGA: PLN Bak Buah Simalakama

Padahal, kedua belah pihak adalah anak bangsa juga, baik anggota Satpol PP maupun massa di Koja ituAda apa ini?

Kerusuhan antara massa sipil dan aparat pemerintah yang juga sipil itu, apapun alasan masing-masing yang sudah ramai ditulis media, tak membuat kita membenarkan penganiayaan sesama insanAda yang terluka, sekarat dan meninggal duniaInnalillah..!

Padahal tugas Satpol PP sebagai perangkat pemerintah daerah sangat muliaCoba: mereka memelihara ketentraman dan ketertiban umum, serta menegakkan peraturan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kotaSetidaknya, begitulah menurut UU tentang Pemerintahan Daerah.

Tafsir "memelihara ketentraman dan ketertiban umum" rasanya tunggalJauh dari tempik sorak bentrokan, saling lempar, mengeroyok anak remaja dan berbagai pemandangan tak berbudaya dan tak beradab dalam peristiwa Koja itu.

Orang bilang bahwa "tugas Satpol PP" dan realitasnya memang bagai kesenjangan antara das sollen dan das seinAntara apa yang dicita-citakan, dikehendaki dan diharapkan, dengan fakta realitas yang membuat mata kita ngilu memandang.

Bacalah kembali kliping suratkabar atau cari data di website berbagai media, maka akan muncul berbagai bentrokan anggota Satpol PP, mungkin dengan mahasiwa, petani, wartawan, pedagang kakilima dan sebagainyaSeakan-akan sudah sebuah keniscayaan, bahwa siapa berani "menghadang" Satpol PP, maka kekerasan pun akan terjadi.

Tiada lain, Satpol PP harus kembali ke khittah dalam makna sebenarnya, sebagai penyebar ketentraman dan ketertiban umumBukan dalam makna kepentingan pemerintah, Pemda serta pengusaha saja, tetapi kepentingan bersamaTermasuk rakyat dengan seluruh kelapisan sosial yang ada.

Pendekatan kekerasan itu mengingatkan kita kepada rezim Orde Baru yang justru sudah tumbang dengan seluruh paradigma, orientasi dan pendekatannyaKita ingat betapa kerap TNI head to head dengan mahasiswa di masa lalu, dan di era reformasi diteruskan oleh polisi dan Satpol PP versus civil society.

AbsurdOrde Baru sudah jauh, tapi tatacaranya masih menjangkau kekinianPadahal sudah pasti bahwa Satpol PP bukanlah reinkarnasi dari sistem militerisme yang pernah berkuasa di era Orde Baru.

Reformasi 1998 telah menjungkir-balikkan banyak halDari sentralisme ke desentralisasiDari otoritarianisme ke demokratisasiSemestinya Satpol PP juga harus bermetamorfosis dengan wajahnya yang reformis, menjauhi kekerasan seraya egaliter, ramah, konsultatif dan bertindak edukasi-persuasif.

Frasa di awal tulisan inilah yang kita dambakanJika boleh meneruskan mimpi itu, maka kita akan melihat sosok Satpol PP yang tak lagi berseragam uniform "meniru-niru" tentaraMereka berpakaian sipil belaka, sama dengan penduduk kota.

Bukan cuma kulitnya yang "menyipil", tetapi juga budaya penampilannya di masyarakatMereka akan kerap duduk di kedai kopi bersama rakyat membicarakan apa saja, yang muaranya bertema ketentraman dan ketertiban umum.

Metode yang dialogis ini paling tidak tak membuat rakyat di kubu yang anti Perda dan Satpol PP pro-PerdaTetapi mendiskusikannya bersama baik formal maupun informal sembari makan goreng dan ngopi bersama.

Jika pendekatan itu menjadi budaya, maka kita semua kelak tak lagi melihat berbagai kasus yang kontroversial dan mengundang pro-kontra secara hitam-putihTetapi selalu ada titik temu, bahwa masalahnya "begini lho"Masyarakat diajak untuk memahami dan mengerti sesuatu yang mungkin belum mereka terima.

Gejala serupa juga akan menjalar kepada anggota Satpol PPMereka memahami dan mengerti mengapa pedagang kakilima masih berjualan di tempat terlarangBahwa itu adalah soal hidup mati, karena memang belum ada penampungan yang manusiawi seraya komersial.

Memori Koja
Saya membayangkan, nama Koja mestinya harus segera mengingatkan anggota Satpol PP, juga komandan dan atasan mereka, Walikota dan Gubernur, kepada Peristiwa Priok pada 1984Kala itu pun, tempik sorak terdengar dan kemudian darah berlelehanMemori kolektif kita kembali kecut.

Di Koja juga terhimpun masyarakat miskin yang dikalahkan oleh sistem perekonomianDi Koja juga ada FPI dan umat yang memandang tokoh agama seperti Mbah Priok sebagai pemuka sakral dan kharismatik.

Potret macam itu, mestinya secara psikologis-sosial membutuhkan pendekatan yang tepatApalagi jika komunikasinya tak jelas, misalnya mana yang hendak dibongkar dan mana yang tidak akan segera menimbulkan resistensi yang dahsyat.

Saya menjadi terbayang bahwa dekonstruksi Satpol PP itu akan menyangkut pola rekrutmennyaHarus menepiskan pelamar yang berlatar mantan preman atau residivisIni bukan generalisasiTapi, melihat kasus Satpol PP di berbagai belahan tanah air, sinyalemen itu layak diverifikasi.

Dalam pelatihan, Satpol PP mestinya tak lagi bergaya militeristikTetapi lebih humanioraMereka adalah agen ketentraman dan ketertibanMustahil mereka menjadi agen semulia itu, kalau ciri-ciri, karakter dan kepribadiannya malah sangar dan menakutkanSo pasti, kurikulum HAM menjadi penting.

Pengenalan budaya dan antropologi lokal menjadi penting, termasuk kearifan lokal maupun sistem kepercayaan dan agama anutan setempatTermasuk juga ihwal kependudukan, misalnya taraf kehidupan sosial ekonomi, yang jika salah raba bisa memicu perlawanan.

Saya tak termasuk orang yang mendukung pembubaran Satpol PPSelain menambah jumlah pengangguran dan dengan demikian kemiskinan, betapa pun Satpol PP masih diperlukan, apalagi dengan paradigma dan orientasi baru yang lebih humaniora, seperti impian di awal tulisan ini.

Saya ingat teori Gramschi yang terkenal dengan hegemoni itu, haruslah dipangkas dari Satpol PPTak perlu lagi menakut-nakuti rakyat dengan kekerasan.

Tak terkecuali pihak-pihak yang bersengketa degan masyarakat, entah Pelindo, PTPN, Pemda atau korporat swasta, haruslah memahami bahwa masyarakat juga punya kebutuhan, harapan dan cita-cita.

Jika korporat butuh tanah untuk pabrik, masyarakat juga butuh agar "pabrik hidupnya" tak tergangguSelemah-lemahnya mereka, pasti akan melawan jika harapan hidupnya dibredel oleh arus modal dan arus kekuasaan.

Dialog adalah jalan terbaikSebab jika tidak, maka masing-masing pihak akan tampil dengan bahasa sendiri seperti tragedi di Koja ituJangan dikira rakyat juga tidak punya kekuasaan.

Di era ini kekuasaan telah tersebarTak hanya secara vertikal tetapi juga horizontalFenomena politik era reformasi dan demokratisasi lah yang membuka suasana kekuasaan ituJika Satpol PP belaku sangar, rakyat juga bisa brutal.

Satpol PP harus kembali ke khittah, tetapi dalam interpretasi yang reformis dan demokratisBukan sok kuasa! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kau Sombong, Kau Kubekot


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler