jpnn.com - Pada 16 Mei 2013 silam, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang disambut gembira masyarakat adat di seluruh Nusantara.
Putusan judicial review terhadap UU Kehutanan itu jadi produk hukum pertama yang mengakui masyarakat adat sebagai pemilik hutan adat di wilayahnya.
BACA JUGA: AMAN Gugat Jokowi Terkait RUU Masyarakat Adat, Istana Minta Tanyakan ke DPR
Namun, sebelas tahun berlalu, putusan bersejarah tersebut ternyata tak berdampak banyak terhadap nasib masyarakat adat.
Mereka masih ditindas melalui pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.
BACA JUGA: Ketua Majelis Adat Sasak Mengajukan 2 Nama Menteri Untuk Mengisi Kabinet Prabowo
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan semua ini disebabkan lemahnya political will pemerintah dalam mengakui kedaulatan masyarakat adat.
"Berbagai usulan perubahan yang terus menerus disampaikan AMAN bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil antara lain melalui RUU Masyarakat Adat maupun usulan perubahan kebijakan yang lain selalu tidak mendapatkan respon yang memadai," ujar Rukka di sela Seminar Nasional, bertemakan '11 Tahun Putusan MK 35 dan Pemenuhan Hak Konstitusional Masyarakat di Indonesia' di Rumah AMAN, Jakarta, Senin (13/5).
BACA JUGA: Ketua Masyarakat Adat di Simalungun Ditangkap, Aliansi Mengadu ke Kapolri
Dia mengungkapkan bahwa aturan turunan putusan MK 35 yang dikeluarkan pemerintah justru membuat masalah makin berbelit-belit.
Pihaknya pun kesulitan dalam melakukan pemetaan sehingga berdampak pada mangkraknya wilayah adat.
"Beberapa Permen (peraturan menteri) yang keluar tanpa evaluasi yang jelas lalu berubah-berubah terus permennya," ungkap dia.
Pada sisi lain, ujar Rukka, politik hukum terkait masyarakat adat dalam satu decade terkhir terus memburuk.
Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN dan berbagai peraturan perundangundangan di bidang agraria dan sumberdaya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
"Kita berharap pemerintah khususnya periode baru ini harus menjadi salah satu fokus menjadi kebijakan strategis presiden untuk segera mengembalikan wilayah-wilayah adat yang selama ini diklaim. Dan banyak di wilayah-wilayah itu yang sudah rusak dan masyarakat adat supaya kita bisa pulihkan kembali," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Dosen UGM Yance Arizona mengatakan Putusan MK Nomor 35 sebenarnya menghendaki hutan adat dipisahkan dengan hutan negara.
Namun, dalam prosesnya negara tidak sepenuhnya melepaskan itu kepada masyarakat adat.
"Bisa jadi problemnya adalah di fungsi negara, misalkan itu sudah menjadi lahan pertanian masyarakat, negara menyebut itu hutan konservasi, ketika jadi hutan adat tidak boleh mengubah fungsi itu dari awal bukan konsevasi itu cara pemerintah mengkontrol wilayah itu," tuturnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif