Sekjen PDIP: Pandangan Geopolitik Soekarno Membangun Perdamaian Dunia

Sabtu, 04 Desember 2021 – 22:40 WIB
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Foto: Dok DPP PDIP.

jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa pandangan geopolitik Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno yang mewarnai perjalanan Indonesia mengambil jalan berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dan Erop, serta Blok Komunisme-Leninisme. 

"Saya menyampaikan ini sesuai pesan Ibu Megawati Soekarnoputri bahwa saat pelantikan Dewan Perwakilan Luar Negeri Partai atau DPLN PDI Perjuangan harus diceritakan pandangan geopolitik Soekarno," kata Hasto Kristiyanto pada pelantikan DPLN PDIP yang dilanjutkan pendidikan kader pratama, Sabtu (4/12/). 

BACA JUGA: Patung Soekarno

Hasto memulai dengan menceritakan sejarah PDIP, yang dimulai dengan pembentukan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. 

Dia menjelaskan 4 Juli dipilih untuk mengambil semangat perjuangan AS melepaskan diri dari kolonialisme Inggris. 

BACA JUGA: Hasto Mengingatkan Pentingnya Radikalisme dan Terorisme Dicegah Sedini Mungkin

Menurut dia, Soekarno menyatakan bahwa PNI adalah wadah pengorganisasian rakyat untuk melepaskan diri dari penjajahan. 

Pada 1956, Bung Karno ke AS dan bertemu Presiden Eisenhower, dan menyampaikan mengenai makna dibalik pendirian PNI pada 4 Juli. 

BACA JUGA: Hasto Minta Pengurus DPLN PDIP Membangun Jaringan Internasional 

Dalam kunjungan itu, Bung Karno juga menyebut AS sebagai negara ide, perpaduan revolusioner antara Jefferson, Lincoln, dan Thomas Alfa Edison. 

Namun, katanya, di situ juga Soekarno menyampaikan prinsip soal pandangan geopolitik Indonesia berbasis pembangunan persaudaraan dunia, memperjuangkan prinsip koeksistensi damai. Hal tersebut, tegas dia, berbeda dengan pandangan geopolitik Barat, AS dan Eropa.

Dia menuturkan AS dan Eropa mengutamakan sea power atau harus menguasai lautan. 

Jerman berpandangan harus menjamin survivalnya dengan harus menguasai ruang hidup (lebensraum) yang akhirnya memicu perang dunia kedua. 

Bung Karno, kata Hasto, memahami ini. 

Lalu, Bung Karno menegaskan Indonesia memiliki Pancasila yang merupakan sintesis berbagai pemikiran Barat dan Timur, serta merupakan pemikiran asli Nusantara. 

"Sehingga Bung Karno memahami bahwa penjajahan hanya menciptakan ketidakadilan dan penderitaan, yang digerakkan oleh kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Semuanya bertujuan untuk memperebutkan sumber bahan baku atau pasar bagi kepentingan perekonomian negara maju," ulasnya. 

Terbukti, kata Hasto, terjadilah ekspansi memperebutkan bahan baku untuk kepentingan industri di Eropa. 

Mereka juga mencari pasar produknya. 

Inggris menjadikan India bagi perluasan pasar industrinya. 

Belanda menguasai Indonesia untuk kepentingan lebguasaan sumber daya alam . 

"Soekarno melihat realitas penjajahan yang menyengsarakan ini. Maka beliau membangun  PNI untuk mendidik dan mengorganisasi rakyat,” jelasnya.

Hasto menambahkan atas dasar itu, DPLN PDIP juga punya tanggung jawab untuk mengorganisasi WNI di luar negeri. 

“Serta bersama-sama menjalankan fungsi rekrutmen, pendidikan politik, serta bertindak sebagai mata dan telinga partai di luar negeri," kata Hasto. 

Dia menuturkan semangat Bung Karno untuk membangun tata dunia baru yang bebas dari penjajahan dan menggelorakan kepemimpinan Indonesia bagi dunia harus menjadi spirit DPLN partai. 

Lebih lanjut Hasto mengatakan politik luar negeri bebas aktif itu tidak ekspansionis. 

Namun, tegas Hasto, politik luar negeri bebas aktif itu berpihak pada perdamaian dunia. 

Dia melanjutkan pasca-Perang Dunia II, ada konsolidasi kekuatan blok dunia atas dasar Komunisme-Leninisme dipimpin Soviet, dan kapitalisme-liberalisme oleh AS. 

“Terjadilah perang dingin. Semua berebut pengaruh. Fenomena inilah yang kini nampak terjadi di Laut Cina Selatan,” urai Hasto lagi. 

Namun, lanjut Hasto,  Soekarno melihat keduanya tetap memiliki benih-benih penjajahan. 

“Makanya Bung karno, tahun 1960-an menggagas blok baru yang ingin membangun dunia tata baru bebas perang dan penjajahan, sehingga lahirlah Gerakan Non Blok," tambahnya. 

Menurut dia, inti sari dari pandangan geopolitik serta politik bebas aktif Indonesia dan dijalankan Soekarno ini adalah politik yang berpihak pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

"Bung Karno lalu menjadikan Konferensi Asia Afrika sebagai momentum mencanangkan doktrin politik luar negeri Indonesia tersebut,” kata Hasto. 

Momentum Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung dijadikan Bung Karno untuk menggalang dukungan internasional bagi pembebasan Irian Barat. 

Dari 10 Dasasila Bandung, 7 poin adalah untuk pembebasan Irian Barat. 

"Setelah KAA, Indonesia mendapat legitimasi kuat sehingga dilaksanakan Deklarasi Djuanda pada 1957. Dengan deklarasi ini, laut membungkus wilayah kepulauan kita, sehingga Indonesia adalah negara kelautan yang ditebari pulau-pulau, kata Bung Karno," beber Hasto. 

Tanpa perang, dia menambahkan, Bung Karno membawa Indonesia memiliki wilayah yang naik 2,5 kali lipat. 

“Ini semua dilakukan tanpa perang. Kita adalah negara kepulauan terbesar dunia, yang menatap masa depan dunia  di Pasifik," tegasnya. 

Setelah Deklarasi Djuanda, Indonesia kembali menggagas Gerakan Non Blok. 

Nah, kata dia, di sana Soekarno berhasil menyediakan persenjataan yang dibutuhkan militer Indonesia untuk pembebasan Irian Barat. 

"Namun, yang utama, Indonesia punya peran penting bagi kemerdekaan bangsa dunia. Maroko, Tunisia, Aljazair, Sudan, dan lain-lain. Sampai Bung Karno mendapat gelar pahlawan pembebas kemerdekaan bangsa-bangsa Islam," pungkas Hasto. (boy/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler