Sekolah Berasrama Membentuk Karakter Pribadi Unggul

Rabu, 17 Mei 2017 – 18:15 WIB
Siswa di kelas. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pembangunan sumber daya manusia untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter pribadi unggul. Yakni manusia Indonesia yang memiliki prestasi tinggi dibarengi budi pekerti yang baik. Karakter pribadi unggul ini diperlukan agar Indonesia mampu berkompetisi dengan negara-negara lain dan bahkan memenangkan persaingan global.

Dalam konteks Indonesia, salah satu komponen dari karakter pribadi unggul adalah karakter kebangsaan dan kebinnekaan. Hal ini penting mengingat identitas bangsa Indonesia yang tersusun dari ribuan suku bangsa dengan beragam budaya, tradisi dan agama.

BACA JUGA: Sekolah Harus Mengajari Siswa untuk Berpikir Kritis

Berangkat dari kesadaran tersebut, Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (Ikastara) menggelar Diskusi Publik bertema “Peran Sekolah Berasrama dalam Membentuk Karakter Pribadi Unggul yang Berjiwa Kebangsaan dan Kebinnekaan” di Jakarta, Selasa (16/5).

Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber terkait sekolah berasrama yaitu Ahmad Rizali (Pendiri Sekolah Berasrama Internat Alkautsar Parung Kuda Sukabumi dan Staf Khusus Mendikbud Bidang Pendidikan 2014-2016), Ki Darmaningtyas (Pendidik Taman Siswa dan Pengamat Pendidikan), Dr. Deddi Nordiawan (Dosen FEB UI dan Alumni SMA TN), dan Erlinda, M.Pd (Komisioner dan Kadiv Sosialisasi KPAI).

BACA JUGA: Mendikbud Klaim Integritas UN 2017 Jauh Lebih Baik

Ketua Umum Ikastara, M. Rachmat Kaimuddin, mengatakan, SMA Taruna Nusantara di Magelang merupakan salah satu perintis sekolah berasrama. SMA Taruna Nusantara didesain secara khusus untuk mendidik pemuda-pemudi Indonesia agar memiliki keunggulan di tiga aspek yaitu akademis, kesiapan jasmani, dan kepribadian. Berdiri pada tanggal 14 Juli 1990 sebagai bentuk kerjasama TNI dan Taman Siswa.

“SMA Taruna Nusantara kemudian menjadi Kawah Candradimuka manusia-manusia Indonesia agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai kemahiran modern lainnya dengan tetap berkepribadian Pancasila,” tegasnya.

BACA JUGA: Jangan Beri Ruang Intoleransi di Sekolah

Deddi Nordiawan, alumni SMA Taruna Nusantara yang kini menjadi staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia memberikan kesaksiannya selama menjalani pendidikan di SMA tersebut.

Ia mengatakan, di balik berbagai manfaat kehidupan berasrama terdapat persyaratan mendasar yang harus dipenuhi siswa sebelum masuk sekolah berasrama.

“Banyak orang tua yang tidak mengetahui, atau jika pun mengetahui mereka tidak mau menerima, bahwa kondisi psikologis anak mereka tidak cocok untuk masuk ke sekolah berasrama,” ujarnya.

Ahmad Rizali menceritakan pengalamannya mendirikan dan membina sekolah berasrama, yakni Sekolah Berasrama Al Kautsar di Parung Kuda, Sukabumi.

Menurutnya, anak yang tidak siap secara mental namun dipaksakan oleh orang tua untuk masuk ke sekolah akan dapat merusak sistem pendidikan berasrama yang sebenarnya sudah bagus berjalan. Oleh karena itu, sekolah harus tegas untuk menolak.

Erlinda, mengingatkan, orang tua yang menitipkan anaknya di sekolah berasrama tidak lantas lepas tanggung jawab. Sebagian besar waktu tumbuhkembang anak sesungguhnya dihabiskan bersama keluarga.

Selain itu, peristiwa buruk yang menimpa SMA Taruna Nusantara pada Maret 2017 lalu agar tidak digeneralisir sebagai karakteristik sekolah berasrama.

Sementara itu, Ki Darmaningtyas berpendapat bahwa agar sistem sekolah berasrama seperti SMA TN bisa berjalan baik, bentuk kelembagaannya harus sekolah publik dan bukan sekolah swasta. Hal tersebut untuk menjamin terjaganya kualitas baik dari sisi input, proses, maupun output.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketika Lantai Sekolah Masih Berupa Tanah


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler