Sekolah Lima Hari, PGRI Khawatir Berdampak Buruk ke Siswa

Rabu, 14 Juni 2017 – 07:43 WIB
Siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) hari pertama di SMA N I Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (10/4). Pihak sekolah menyiapkan empat ruangan untuk pelaksanaan ujian tersebut dan menyiapkan jenset. Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan lima hari sekolah.

Bila persiapannya tidak matang, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi jalannya pendidikan. ‎

BACA JUGA: Sehari 8 Jam di Sekolah, Istirahat Hanya 30 Menit

"Kami memahami niat baik pemerintah sebagai upaya untuk menjaga , menunbuhkan , dan menanamkan karakter peserta didik agar menjadi pribadi-pribadi yang dinamis serta matang. Namun, lima hari berada di sekolah tanpa dipersiapkan secara matang menimbulkan reaksi yang beragam dan cenderung tidak positif," kata Ketum PB PGRI Unifah Rosyidi dalam pernyataan resminya, Selasa (13/6).

Dia menyebutkan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penerapan sekolah lima hari.

BACA JUGA: Mendikbud: Dosa Besar Saya Bila Membunuh Madrasah Diniyah

Pertama,‎ pemerintah sebaiknya membentuk tim khusus untuk mendialogkan secara serius kebijakan ini dengan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan berbagai pihak yang relevan.‎

Kedua,‎ pemerintah menyiapkan guideline saja. Selanjutnya implementasinya serahkan kepada pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu, paling mengerti, dan paling memahami kondisi daerah masing-masing.

BACA JUGA: Mendikbud: Dosa Besar Saya Bila Membunuh Madrasah Diniyah

"Pemerintah pusat sebaiknya berperan sebagai enabler/ fasilitator yang menetapkan kebijakan besar dan umum , serta melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program tersebut. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU bahwa pendidikan telah didesentralisasi kepada daerah," terangnya.
‎‎
Ketiga, mengajak dialog secara khusus dengan penyelenggara sekolah berbasis agama (khususnya Madrasah) yang telah menyelenggarakan pendidikan pada siang hari selepas sekolah umum.

"Mereka ini dipercaya masyarakat sebagai sekolah yang menekankan pada mengajarkan moral, religiusitas, dan sarat dengan pendidikan karakter. Jangan sampai sekolah yang sudah ada sejak turun temurun dan telah dipercaya masyarakat ini merasa menjadi korban kebijakan sekolah lima hari ini," ucapnya.

Harus tetap ada dan menjadi partner kementerian untuk berbagi peran masing-masing. Teknis koordinasi ini yang diperlukan dengan baik.‎

Keempat, perlu dipikirkan bagiamana dengan pendididikan bagi anak-anak kelas awal, kelas 1, 2, 3, dan 4 SD. Program apa saja bagi mereka dengan waktu yang begitu lama? Bagaimana dengan istrirahat, bermain, dan komunikasi dengan keluarga yang masih sangat dibutuhkan bagi tunbuh kenbang mereka. Bagaimana dengan kebutuhan gizi mereka?‎

"Pertimbangan lainnya, program penguatan karakter seperti apa dalam mengisi waktu selesai jam sekolah? Apa diserahkan sepenuhnya pada sekolah? Atau bebas saja? Bagaimana dengan kesediaan makan siang dan istirahat? Apakah hanya menunda waktu pulang?‎ Hal-hal ini harus dianalisa lebih dalam," pungkasnya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sekolah Lima Hari, Pendidikan Agama Bakal Dihapus di Kelas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler