jpnn.com - Sabtu (29/7) pagi, hanya ada belasan siswa SMA 1 Balikpapan, Kaltim, yang datang ke sekolah. Ini salah satu pemandangan berbeda dari penerapan kebijakan sekolah lima hari atau full day school (FDS) pada minggu pertama di sekolah yang terletak di kawasan Gunung Pasir itu.
DINA ANGELINA, Balikpapan
BACA JUGA: Sekolah Lima Hari, Ortu Kaget Anaknya Pulang Sore
MASUK sekolah hanya pada Senin-Jumat, bukan berarti nihil aktivitas saat Sabtu. Buktinya, sebagian siswa masih memilih menghabiskan rutinitas akhir pekannya dengan berkunjung ke sekolah.
Walau jumlahnya sangat minim, bisa dihitung jari. Datang pun tidak dengan seragam yang kompak. Ada yang terlihat mengenakan pakaian putih abu-abu lengkap dengan setelan blazer.
BACA JUGA: SMK di Jatim Mulai Coba Full Day School
Mereka adalah anggota OSIS yang sedang meluangkan waktu mengisi kegiatan organisasi.
Sementara sisanya terlihat berpakaian seragam Pramuka. Kala itu, mereka sibuk mempersiapkan datangnya kegiatan Perkemahan Sabtu Minggu (Persami).
BACA JUGA: Ingat, Jangan Pilih Politikus Pengabai Madrasah
Selain kemarin, Jumat (28/7), Kaltim Post (Jawa Pos Group) juga bertandang di sekolah itu. Suasananya pun berbeda. Jumat sore, sekolah masih ramai. Sebagian siswa asyik bermain di tengah lapangan.
Ada juga yang mengikuti kegiatan olahraga hingga para anggota pasukan pengibar bendera (paskibra) yang sibuk latihan baris-berbaris. Di sudut lain sekolah, terdengar sekelompok siswa melantunkan lagu. Mereka tim paduan suara yang masih berlatih vokal.
Kegiatan ini amat jarang terjadi pada Jumat. Biasanya, siswa sudah berkemas meninggalkan sekolah sebelum tepat tengah hari. Namun, yang terjadi dua hari lalu sebaliknya.
Setelah melaksanakan salat Jumat, satu per satu siswa mulai berdatangan. Melanjutkan kegiatan di sekolah, kebanyakan bukan untuk kembali ke kelas. Mereka membentuk kelompok-kelompok sesuai minat.
Siswa-siswi itu mengisi waktu mereka untuk kegiatan ekstrakurikuler. Sebelum penerapan konsep lima hari belajar, kegiatan ini dilaksanakan setiap Sabtu. Meski baru diterapkan dalam kurun waktu seminggu ini, tampaknya siswa dengan mudah mengatasi perubahan. Siswa SMA 1 Balikpapan bisa dibilang sudah kebal apabila harus menghabiskan banyak waktu di sekolah.
Ibaratnya, sekolah bak rumah kedua. Walau tenaga harus terkuras lebih banyak karena waktu pulang ke rumah tertunda. Biasanya, mereka sudah meninggalkan sekolah sekitar pukul 15.00 Wita.
Sementara dengan adanya konsep terbaru ini, siswa harus rela pulang telat. Setidaknya, paling cepat pukul 16.00 Wita.
Sedangkan waktu istirahat tak berubah, siswa mendapatkan kesempatan dua kali untuk melonggarkan pikiran. Beberapa siswa terlihat sudah siap dengan bekal makanan dari rumah masing-masing.
Menariknya, perubahan bukan hanya soal waktu sekolah, model pembelajaran ikut berbeda. Guru terlihat lebih fleksibel mengikuti kemauan siswa. Mereka tidak semata-mata terus menghabiskan waktu di kelas.
“Siswa berhak mendapatkan waktu lebih, salah satu contoh tentang pendalaman karakter. Konsep ini bertujuan bagaimana membuat siswa bisa enjoy. Belajar juga tidak harus di kelas, tapi bagaimana prosesnya yang terpenting. Sehingga guru dapat berfungsi sebagai fasilitator,” tutur Kepala SMA 1 Balikpapan Imam Sudjai.
Seperti Jumat itu, terlihat para guru masih turut berada di sekolah hingga sore hari. Mereka menemani siswa mengisi waktu ekstrakurikuler sesuai pilihan masing-masing.
Imam menambahkan, dengan konsep lima hari belajar, harapannya di masa mendatang tak ada lagi pekerjaan rumah (PR). Sehingga setelah pulang sekolah, anak-anak bisa langsung beristirahat.
“Mulai sekarang guru harus memperkecil tugas rumah. Jadi, tugas-tugas diselesaikan di sekolah juga. Pulang ke rumah siswa sudah tidak ada beban, kalau mungkin ada PR yang sifatnya hanya tugas lanjutan. Sedikit demi sedikit kami sudah terapkan itu,” bebernya.
Meski waktu sekolah berkurang satu hari, Imam meyakini konsep ini tidak mengubah struktur kurikulum. Setiap hari, siswa mendapatkan jatah 10 jam pelajaran. Totalnya dalam satu minggu 44 jam.
“Saya rasa tidak ada kendala besar baik guru atau siswa karena sudah terbiasa pulang jam 4 sore. Jadi, pelajaran yang tadinya ada pada hari Sabtu ditarik ke hari lain. Bertambah pada hari Senin-Kamis. Kalau dulu ada yang pulang sekolah pukul 15.00 Wita, sekarang semua harus pulang jam 16.00 Wita,” tuturnya.
Diketahui, penerapan sistem lima hari belajar tersebut mengacu pada imbauan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Imbauan itu ditujukan kepada 104 sekolah rujukan di Indonesia.
“Setiap kabupaten/kota menunjuk satu sekolah. Harapannya nanti sekolah rujukan bisa memberikan praktik baik kepada sekolah lain. Misalnya, ada program peningkatan kualitas pembelajaran hingga program bedah kampus untuk siswa yang lanjut PTN,” ujarnya.
Sekolah rujukan ini diimbau untuk mencoba pelaksanaan lima hari belajar selama enam bulan. Harapannya, saat Sabtu, siswa bisa berkumpul dengan keluarga agar lebih dekat dan meningkatkan karakter. “Pendidikan keluarga kan pertama dan utama. Sekolah kami akhirnya menerapkan konsep itu,” jelasnya.
Salah satu siswa SMA 1, Muhammad Izzas Ferdiansyah, mengaku rindu masuk sekolah hari Sabtu. Biasanya Sabtu hanya sekolah setengah hari, yakni hingga pukul 10.00 Wita. Kemudian, lanjut dengan kegiatan ekstrakurikuler.
“Enaknya mungkin libur jadi lebih lama. Tapi, bagi sebagian anak yang sudah terbiasa Sabtu masuk sekolah, mereka bisa kebingungan mencari kegiatan di rumah. Saya pikir siswa mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan dan peraturan,” ucapnya.
Menurutnya, sekolah lima hari memiliki sisi positif dan negatif. Satu sisi, dia memiliki waktu luang bersama teman dan keluarga.
Bahkan, waktu kosong tersebut dapat digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Namun, di sisi lain, konsep ini juga melelahkan. Jadwal belajar menjadi padat dari biasanya.
“Saat jam-jam terakhir sekolah, siswa sudah lelah dan tidak fokus lagi. Apalagi kalau untuk kelas XII, setelah pulang sekolah masih ada bimbingan belajar (bimbel) di luar. Rata-rata waktu bimbel mulai sekitar 16.30 Wita. Waktu istirahat sangat singkat, akhirnya siswa juga kelelahan,” katanya.
Ia pun berencana menghabiskan waktu libur dengan beristirahat dari segala rutinitas sekolah. Misalnya mengisi kegiatan dari bermain PlayStation hingga olahraga. Terutama olahraga merupakan momen yang paling dinantikan remaja berusia 17 tahun ini. Sebab, dia baru memiliki waktu luang saat weekend.
Komentar juga datang dari Mentari Ramadhany. Gadis berhijab ini mengatakan setuju dengan konsep lima hari belajar. Ia mengatakan, dua hari libur itu bisa dimanfaatkan untuk beribadah.
Terutama mereka kalangan nonmuslim yang waktu beribadahnya pada akhir pekan. Selain itu, tentunya waktu libur digunakan refreshing dari kegiatan sekolah.
Namun, di sisi lain, siswa kelas XII itu merasa penambahan waktu kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah cukup menyulitkan.
Setiap siswa terutama yang berada di jenjang akhir setiap hari bisa menghabiskan waktu selama 11 jam untuk belajar. Setelah sekolah dari pagi sekitar pukul 07.15-16.00 Wita, mereka masih harus lanjut bimbel selama 2 jam.
“Sebenarnya penerapan konsep ini masih butuh banyak improvement. Contoh memaksimalkan KBM di kelas karena masih ada guru yang jarang masuk kelas. Padahal, keadaannya siswa butuh mengejar materi. Apalagi KBM sekolah jadi padat hanya lima hari sekolah. Saya pun siap dan konsep ini bisa berjalan baik jika maksimal,” sebutnya.
Komentar berbeda datang dari Ramadhiani Afina Zamara. Ia merasa perubahan jam sekolah tidak terlalu jauh dari yang sebelumnya pulang pukul 14.45 Wita menjadi 16.00 Wita. Sehingga perbedaan tidak begitu terasa. Kemudian, jumlah pelajaran dalam sehari pun tidak berubah, hanya durasi belajar yang bertambah.
“Saya merasa cocok saja, hanya perlu komitmen dari siswa juga untuk bersedia pulang lebih lama. Bukan cuma siswa, harapannya ada komitmen dari guru juga. Misalnya jangan sampai banyak jam kosong,” ujarnya. (far/k11)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Draf Perpres Pengganti Permendikbud Full Day School Tunggu Sinkronisasi
Redaktur & Reporter : Soetomo