jpnn.com, JAKARTA - Seksi Hubungan Antar Agama dan Kemasyarakat (HAAK) Paroki Keluarga Kudus Cibinong (PKKC) menggelar talk show “Gereja Sinodal Dalam Sukacita Keberagaman” yang berlangsung di Ruang Yosef Paroki Keluarga Kudus Cibinong pada Minggu (4/2/2024).
Kegiatan tersebut sebagai penegasan terhadap pentingnya umat Katolik menyikapi dan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat yang sangat majemuk untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga dan merawat toleransi dan kerukunan agama dan kepercayaan.
BACA JUGA: Ganjar Menginap di Rumah Warga Tionghoa, Kisah Kupu-Kupu Besar & Toleransi di Ambarawa
Acara diikuti 120 peserta dari Ketua Lingkungan, Orang Muda Katolik, Pemuda Katolik PKKC, Putra-putri Altar dan Undangan menghadirkan narasumber dari kalangan rohaniwan serta tokoh masyarakat, yakni Romo Marcelino Wahyu Pr (Pastor Paroki Keluarga Kudus Cibinong), Dhamiry A Ghazaly (Ketua GP Ansor Kabupaten Bogor), Restu Hapsari (Ketua Umum PMKRI 2002-2004, Presidium Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan, PP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, dan Komisaris PT Rekayasa Industri), dan Edi Silaban (Ketua Pemuda Katolik Jawa Barat dan Ketua Pokja 24 Keuskupan Bogor).
Menyoal modernisasi terhadap tantangan gereja sinodal dan keberagaman bagi masa depan bangsa, Restu Hapsasi menyebut modernisasi merupakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat mengenai perubahan norma sosial, nilai sosial, susunan lembaga yang ada di masyarakat, pola perilaku sosial, dan segala aspek di dalam kehidupan sosial.
BACA JUGA: Atikoh Silahturahmi dengan Tokoh Lintas Agama Se-Sulut, Bicara Toleransi
Dalam fenomena politik dalam negeri, Restu menegaskan liberalisasi politik, menggeser watak dan kultur politik ke kanan serta menguatnya politik identitas.
Contohnya seperti kasus HTI yang masuk dalam begitu banyak aspek kehidupan seperti pendidikan, kebudayaan, simpul-simpul kekuatan riil masyarakat, dan sudah masuk ke elemen penyelenggaraan pemerintahan negara.
BACA JUGA: AKBP Budi Jalani Prosesi Tepuk Tepung Tawar, Bentuk Doa Restu Masyarakat Melayu
“Kami ingat, peristiwa bom Surabaya yang merupakan tragedi naas atas dampak doktrin paham radikalisme dan ini pertama di dunia, satu keluarga dalam misi bom bunuh diri, disusul oleh bom Makassar,” ungkap Restu.
Untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme dalam negeri, Restu berharap agar konsolidasi kekuatan nasionalis terus dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Di sisi lain, lanjutnya, dalam komunitas Gereja Sinodal harus arus ada unsur ‘terbuka dan inklusif’, yaitu Gereja yang terpanggil untuk mempertemukan atau mempersatukan juga merangkul orang-orang yang percaya kepada Tuhan dengan mengedepankan cinta kasih dan kesetaraan bagi semua orang.
Sementara pada aksi konkret gereja sinodal sebagai komunitas, perlu mengedukasi dan memberikan pencerahan bagi masyarakat, berdialog dan mendengarkan umat Allah, menggali banyak masukan-masukan dari publik.
“Di sisi lain, Gereja Sinodal perlu membawa dan menghadirkan pembaharuan dalam hidup manusia serta sosial masyarakat, yang sebenarnya adalah meneruskan karya keselamatan Kristus, menjadi terbuka dan inklusif, menjadi tidak puritan dan konservatif, menjadi tidak eksklusif,” ujar Restu.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari