jpnn.com, SURABAYA - Jawa Timur menyumbangkan angka besar penderita HIV. Estimasi penderitanya pada 2018 sebanyak 67.658.
Padahal, pemprov telah memiliki peraturan daerah tentang penanganan virus yang menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh atau HIV/AIDS.
BACA JUGA: Cegah HIV AIDS, Istri Harus Curiga Jika Suami Sering Jalan Sendiri
"Regulasi sudah sampai direvisi dua kali, tetapi jumlah penderita HIV di Jatim masih menduduki peringkat pertama di Indonesia," kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jatim Setya Budiono dalam simposium Manajemen HIV/AIDS. Kegiatan tersebut dilaksanakan RS Universitas Airlangga.
BACA JUGA : Cegah HIV AIDS, Istri Harus Curiga Jika Suami Sering Jalan Sendiri
BACA JUGA: Tiap Bulan 50 Penderita AIDS Baru Masuk Rumah Sakit
Pada 2018, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) baru tercatat 8.608 orang. Kota atau kabupaten yang menjadi penyumbang terbanyak, di antaranya, Surabaya, Sidoarjo, Jember, Banyuwangi, Kota Malang, dan Tulungagung.
"Perilaku masyarakat di wilayah tersebut masih memiliki potensi untuk tersebarnya HIV," kata Setya.
BACA JUGA: Mengejutkan! Masa Inkubasi HIV menjadi AIDS Lebih Cepat
BACA JUGA : Tiap Bulan 50 Penderita AIDS Baru Masuk Rumah Sakit
Namun, dari tren penemuan kasusnya, jumlah penderita AIDS cenderung lebih sedikit daripada HIV. Hal tersebut berbeda pada 2004 yang jumlah penderita HIV lebih sedikit.
Penemuan banyaknya penderita HIV tersebut tidak berarti buruk. "Jika banyak kasus yang sudah ditemukan, itu berarti pengobatan juga mulai diberikan sehingga tidak sampai terjadi AIDS," terang dia.
BACA JUGA : Gawat ! Jumlah Pasien AIDS Terus Meningkat
Terkait penemuan HIV, Setyo mengaku di beberapa fasilitas kesehatan telah memiliki program Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Yakni, salah satu strategi penting dalam meningkatkan cakupan layanan tes HIV.
Petugas kesehatan akan aktif menawarkan kepada klien yang berisiko mengidap HIV. "Antara lain, ibu hamil, pasien tuberkulosis, populasi kunci, dan kelompok rentan," ucapnya.
Menurut dia, ibu hamil wajib melakukan pemeriksaan HIV. Yakni, sebelum usia kehamilan 14 minggu. Sebab, lanjut Setyo, ibu hamil yang positif HIV bisa menurunkan penyakit kepada anaknya.
Jika diketahui positif HIV, ibu hamil akan langsung diberi terapi antiretroviral (ARV). Jadi, kemungkinan anak mengidap HIV bisa dibatasi.
"Setiap ibu hamil harus melakukan tes HIV. Itu bukan karena perilaku negatifnya, tetapi untuk mengurangi jumlah bayi lahir HIV," ungkap Setya.
Dia menambahkan, Kemenkes telah mengeluarkan program penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pada 2011. "Namun, kenyataannya di Jatim masih ditemukan 214 bayi yang dilahirkan mengidap HIV," tuturnya.
Cakupan tes HIV pada ibu hamil baru sebesar 56 persen. Karena itu, program PPIA menjadi tantangan besar bagi Jatim. Setyo menuturkan, belum semua kabupaten/kota memiliki puskesmas dengan layanan perawatan dukungan pengobatan (PDP) untuk menangani HIV/AIDS.
"Masih ada sebelas kabupaten/kota," ucapnya. Dengan demikian, untuk menyelesaikan hal itu, dinkes akan melatih 26 PDP, baik di rumah sakit maupun puskesmas.
Terakhir, stigma buruk tentang HIV masih berkembang di masyarakat. Setya menyayangkan masih banyaknya orang yang memperlakukan penderita HIV sebagai orang yang "kotor." (ika/c25/diq/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gawat ! Jumlah Pasien AIDS Terus Meningkat
Redaktur & Reporter : Natalia