Senator Papua Barat Tolak Gagasan Ketua DPD RI Kembali ke UUD 1945 yang Asli

Sabtu, 21 Januari 2023 – 19:53 WIB
Senator atau anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat Filep Wamafma. Foto: Dok. DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Senator atau anggota DPD RI dari Provinsi Papua Barat Dr. Filep Wamafma menolak gagasan Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti yang menghendaki kembali UUD 1945 yang asli.

Menurut Filep, eksistensi sistem bicameral merupakan bagian dari amanat reformasi.

BACA JUGA: Para Aktivis Lintas Generasi Tolak Gerakan Kembali ke UUD 1945

“Perjuangan reformasi ialah menghilangkan sentralisasi kekuasaan pada satu lembaga dan menegasikan lembaga yang lain, juga menghindari Power tends to corrupt. Untuk mencegah pemutlakan kekuasaan, maka perlu ada mekanisme saling mengawasi, termasuk dalam legislatif. Ini juga supaya UU yang dihasilkan di kamar DPR tidak menjadi sewenang-wenang,” ungkap Filep, Sabtu (21/1/2023).

Senator Filep menilai LaNyalla sebagai Ketua DPD RI semestinya yang diperjuangkan ialah penguatan fungsi bikameral itu, bukan melemahkannya.

BACA JUGA: Pilkada Langsung atau Tidak, Sama-Sama Sesuai UUD 1945

Penguatannya ialah melalui upaya afirmasi terhadap kewenangan DPD RI di bidang legislasi.

Filep mencontohkan posisi Senat dan National Assembly di Prancis sebagai lembaga bikameral adalah sama kuat dan sejajar.

BACA JUGA: Merespons Proyek Strategis Nasional di Fakfak, Senator Filep Wamafma Ingatkan Hal Ini

“Senat dan National Assembly sama-sama memiliki kewenangan mengajukan mosi tidak percaya kepada kebijakan pemerintah,” tegas Filep.

Senator Papua Barat ini lantas menambahkan apabila tidak ada sistem bikameral, maka tidak akan dikenal perwakilan dari daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Menurut Fikep, jika bikameral itu tidak ada, maka provinsi-provinsi DOB seperti Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, tidak akan diwakili hak-hak kedaerahannya.

“Sebagai Ketua DPD RI, diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk berpikir ke depan, bukan kembali pada masa Orba dengan sentralistiknya. Bikameral bukan penyimpangan, karena amendemen Konstitusi pun bukan hal yang tabu, karena diperbolehkan secara hukum,” ungkap Filep.

Mantan Anggota Pansus Papua ini, mengatakan apabila anggota MPR diisi oleh anggota DPR yang dipilih, utusan daerah yang diidealkan berasal dari raja-raja nusantara dan utusan golongan diisi dari para profesional dari organisasi-organisasi, maka dikhawatirkan akan melahirkan transaksi politik.

“Bayangkan saja jika utusan daerah berasal dari raja-raja nusantara dan utusan golongan dari kaum profesional, bukankah justru akan melahirkan politik transaksional yang besar di sana? Akan ada kepentingan-kepentingan tertentu di sana dan hak-hak konstitusional masyarakat di luar para raja dan para profesional dikhawatirkan justru akan dikebiri dan sangat tidak demokratis,” ujarnya.

Filep mengaku heran dengan pandangan LaNyalla. Sebab, DPD RI dilahirkan dari rahim reformasi.

Potret perubahan Konstitusi yang melahirkan DPD RI sejatinya bertujuan agar memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah.

Selain itu mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.

Filep juga menekankan para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah yang berbasis ideologi atau parpol ataupun keturunan tertentu.

Menurut Filep, wakil daerah adalah figur-figur yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

Jangankan DPD RI, menurut Filep, persoalan otonomi daerah, termasuk Otsus, juga merupakan hasil amendemen dari Pasal 18 Konstitusi.

“Dulu, kan Pasal ini lebih menekankan streek and locale rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka,” kata Filep.

Dengan amendemen Pasal 18 UUD 1945, maka beberapa prinsip baru dapat diterapkan dan diakui. Yaitu prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya dan bukan sekadar administratif.

“Prinsip kekhususan dan keragaman daerah serta prinsip menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya,” ujar Filep.

Dengan prinsip itu pula maka masyarakat adat Papua bisa meminta hak atas DBH Sumber Daya Alam, hak atas tanah adat, hak atas pemberdayaan masyarakat adat dan lainnya.

“Jadi, mari berpikir ke depan. Jangan sampai DPD RI yang sudah berdiri ini, dan juga seluruh sistem lainnya, dikembalikan ke masa lalu. Kecuali kalau memang ada kepentingan lain di balik itu. Ya, jelas harus dilawan,” tegas Filep Wamafma.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler