Separuh Guru di Muna Tak Layak Mengajar

Selasa, 29 November 2011 – 03:25 WIB

JAKARTA - Ini kritikan bagi penyelenggara pendidikan dasar di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra)Berdasarkan temuan CRC (Citizen Report Card) atau Laporan Penilaian Masyarakat (LPM) yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Yayasan Kritik, mutu pendidikan di Muna sangat rendah.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Hendri mengatakan penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Muna karena banyaknya guru yang dianggap tidak layak mengajar

BACA JUGA: PMB di UI Diduga Jadi Ladang Korupsi

Selain itu, mutu sarana dan prasarana, dan tata kelola yang belum transparan, partisipatif dan akuntabel juga memperburuk kondisi pendidikan.

"Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten Muna terlihat dari banyaknya guru yang tidak layak mengajar 68,92 persen ,mutu sarana dan prasarana yang buruk 46 persen (rusak berat dan ringan)," kata Febri Hendri saat dihubungi dari Jakarta, Senin (28/11).

Survei LPM ini dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober 2011 di 23 Kecamatan di Muna yang melibatkan 1000 responden
Riset ini juga didukung United States Agency for International Development (USAID).

Febri menjelaskan dari hasil riset yang dilakukannya, ditemukan pula sarana dan prasarana sekolah seperti ruang kelas yang rusak berat dan meubeler yang kurang layak

BACA JUGA: Hadapi Guru Jangan Pakai Ancaman!

"Bahkan ada sarana dan prasarana yang belum ada di sekolah sesuai dengan Permendiknas No 24 tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana sekolah," katanya.

Meskipun Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) meningkat tahun 2010 naik, namun Febri mengatakan akses pendidikan dasar juga masih buruk
Hal itu dibuktikan dengan tingginya angka anak putus sekolah dan yang tidak mengecap pendidikan dasar.

"Pada tahun 2009, ada 280 anak yang tidak bersekolah dan putus sekolah terkait masalah ini kritik melihat penyebab utama munculnya masalah akses tersebut adalah rendahnya komitmen Pemkab dan DPRD Kabupaten Muna untuk mengatasi masalah tersebut," ujarnya.

Dikatakan Febri, komitmen itu terlihat dari tidak adanya kebijakan spesifik dari Pemkab Muna untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan kebijakan anggaran yang tidak efektif dan tidak efisien

BACA JUGA: Tunjangan Guru Lambat, Salah Pemprov

Hitung-hitungan dia, paling tidak dibutuhkan dana  sekitar Rp 38 miliar untuk memperbaiki seluruh ruang kelas berat dan riungan.

"Akan tetapi meski sudah ada anggaran dari jumlah dana tersebut masih ditemukan ruang kelas yang rusak berat setiap tahunya, itu membuktikan bahwa pengelolaan anggaran yang tidak efektif dan efisien," ujarnya.

Berdasarkan dokumen anggaran APBD yang diperoleh, sedikitnya anggaran untuk peningkatan mutu guru seperti untuk pelatihan mengajar, buku pegangan guru sangat minimDemikian pula lemahnya tatakelola pemerintahan di sektor pendidikan.

"Pengelolaan anggaran di tingkat Diknas dan sekolah belum transparan adan akuntabelTermasuk masalah pengelolaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang tidak transparan dan partisipatf  sesuai dengan UU KIP nomor 14 tahun 2008," katanya.

Dari hasil LPM ini, ICW bersama Yayasan Kritik juga menemukan banyaknya anggaran pendapatan belanja sekolah (APBS) yang tidak ditempel di papan pengumuman sekolah, meskipun telah diatur dalam petunjuk teknis (juknis) BOS tahun 2010 melalui Permendiknas No 37 tahun 2010.

"Kalaupun ditempel papan pengumunan itu ada di ruang guru atau kepala sekolah sehingga tidak bisa dibaca oleh masyarakat atau orangtua muridKritik juga menemukan pengadaan buku dengan menggunakan dana BOS yang tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah.  Terkait masalah ini, masyarakat sekabupaten Muna sekitar 90 persen menyarankan agar adanya keterbukaan pengelolaan dana sekolah terutama dana BOS, dan pungutan yang dilakukan oleh pihak sekolah," pungkasnya(awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Mau Pindah ke Daerah, Guru Terancam PHK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler