Sepenggal Cerita Perjalanan Hari Film Nasional

Jumat, 30 Maret 2018 – 13:58 WIB
Bapak Perfilman tanah air, Usmar Ismail (kanan). (dok.pnri.go.id)

jpnn.com, JAKARTA - Setiap tanggal 30 Maret, Indonesia memeringati Hari Film Nasional (HFN). Peringatakn tersebut menjadi cerminan perkembangan film di Indonesia.

Pada tanggal 30 Maret 1950, kebangkitan film nasional ditandai dengan hadirnya film Darah dan Doa atau The Long March of Siliwangi yang disutradarai Usmar Ismail dan diproduksi oleh Perfini, perusahaannya sendiri.

BACA JUGA: Online Streaming Vs Bioskop, Perfilman Nasional Diuntungkan

Kemunculan film itu pula yang menjadikan tanggal 30 Maret dipilih oleh Dewan Film Nasional sebagai HFN.

Film karya Usmar Ismail tersebut dijadikan penanda bangkitnya industri perfilman Indonesia karena menceritakan perjalanan panjang (long march) prajurit Indonesia dan keluarga mereka dari Jogjakarta ke pangkalan utama mereka di Jawa Barat.

BACA JUGA: Giliran Tentara Acak-Acak Kampung Rohingya, Tembak Penduduk Sesuka Hati

Perjalanan panjang itu dipimpin oleh Kapten Sudarto, yang menjadi tokoh utama dalam film. Kapten Sudarto diceritakan bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai seorang manusia yang rawan membuat kesalahan.

Dalam perjalanannya, dia dipertemukan oleh seorang pengungsi perempuan berdarah Indo-Belanda, dan sang komandan pun menaruh hati padanya meski dia telah beristri. Film berakhir ketika Indonesia berdaulat di tahun 1950.

BACA JUGA: Bangun 300 Ribu Rumah, Gelontorkan Rp 91 Trililun

Meski bergenre drama-romansa, film itu sukses menggambarkan ideologi yang dimiliki orang-orang Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan mereka.

Oleh karenanya, Darah dan Doa dianggap film pertama yang mencerminkan ciri khas Indonesia dan pantas menjadi titik bangkitnya perfilman tanah air.

Golongan "kiri" sempat secara terang-terangan menolak tanggal 30 Maret sebagai hari perfilman Indonesia.

Pada 30 April 1964, mereka mendirikan PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Amerika Serikat) dan menuntut agar tanggal tersebut lah yang dijadikan Hari Perfilman Nasional.

Mereka juga menganggap film Darah dan Doa tidak layak dijadikan pelopor film nasional karena karya Usmar Ismail dianggap kontra-revolusioner.

Protes ini berlanjut hingga tahun 1966 ketika peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) menghentikan suara dan segala aktivitas golongan ini.

Seiring berjalannya waktu, film Indonesia pun mulai meniti kesuksesan pada tahun 1980an saat industri film nasional pada masa itu melahirkan bintang-bintang berbakat seperti Lidya Kandouw, Meriam Bellina, Ongky Alexander dan lainnya.

Hanya saja kesuksesan itu menurun drastis pada dekade berikutnya. Perfilman Indonesia ibarat mati suri seiring pesatnya pertumbuhan tontonan televisi dan masuknya film Hollywood.

Namun, pada tahun 2000-an, film Indonesia kembali bangkit melalui film-film AADC (Ada Apa Dengan Cinta), Petualangan Sherina, dan beberapa lainnya.

Kini, film Indonesia semakin berkembang dengan ragam cerita yang kreatif dan inovatif. Tak monoton, Indonesia boleh berbangga ketika film-film seperti The Raid atau Laskar Pelangi menjadi raja di tanah sendiri, bahkan hingga penonton dari luar negeri.

Bahkan baru-baru ini, Film Indonesia ramai keluar-masuk festival film Internasional dengan film Athirah, Turah, dan Marlina si Pembunuh Dalam Empat Babak.

Kesuksesan ini bukanlah tanpa sandungan, maka pada tanggal 30 Maret ini kita diingatkan dengan kisah panjang sejarah terbentuknya perfilman tanah air yang penuh usaha dan perjuangan. (yln/jpc)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Karya Anak Bangsa Diluncurkan di Hari Film Nasional


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler