Sejumlah pekerja asing di sektor perkebunan Australia diperlakukan seperti budak oleh perusahaan penyalur tenaga kerja. Mereka diperas, ditindas dan dilecehkan secara seksual oleh penyalur yang telah melarikan diri ke luar negeri.
Hal ini terungkap dalam laporan investigasi lembaga pengawas ketenagakerjaan Fair Work Ombudsman (FWO). Hasil investigasi selama tiga tahun ini akan dirilis akhir 2018 namun ABC mendapatkan garis besarnya yang telah disampaikan pada forum perkebunan di Brisbane.
BACA JUGA: ANU Tolak Kerjasama Dengan Ramsay Center
Sektor perkebunan buah dan sayuran Australia yang bernilai miliaran dolar telah diteliti secara ketat dalam beberapa tahun terakhir.
Hal itu menyusul terungkapnya upah dan kondisi kerja sangat buruk bagi para pekerja yang biasanya berasal dari luar negeri.
BACA JUGA: Polisi Tetapkan 4 Tersangka Kasus Kapal Tenggelam Di Danau Toba
Jennifer Crook, asisten direktur di FWO, mengatakan penyelidikan ini sangat menantang.
"Dalam beberapa kasus, FWO menemukan situasi di mana seseorang secara nyata terikat seperti seorang budak kepada penyalur tertentu," katanya.
BACA JUGA: Perbandingan Penggunaan Narkoba di Australia dan Indonesia
"Pasalnya, mereka diancam tidak akan mendapatkan perpanjangan visa kecuali menghabiskan seluruh musim (panen) bersama mereka," kata Crook.
"Kami mendapatkan kasus di mana pekerja diarahkan ke akomodasi mereka melalui ATM. Mereka diminta memberikan uang muka sebagai jaminan, biaya transportasi dan akomodasi," katanya.
"Kami melihat para backpacker dipancing ke pusat-pusat regional oleh penyalur pekerja yang licik, memperlakukannya secara buruk, menindas dan melecehkan secara seksual serta merampok mereka ratusan hingga ribuan dolar per orang," tambahnya. Photo: Laporan kondisi kerja sektor perkebunan Australia akan dirilis akhir 2018. (Laurissa Smith: ABC Rural)
Para penyalur tenaga kerja menghilang
Menurut Crook, pihaknya merujuk kasus semacam ini kepada kepolisian setempat dan Kementerian Imigrasi. Namun dia mengaku sulit untuk menangkap para penyalur tenaga kerja yang tidak bermoral tersebut.
"Kami melihat para penyalur tenaga kerja itu menghilang di akhir musim panen dengan ratusan ribu dolar upah yang belum dibayarkan kepada ratusan pekerja," katanya.
"Mereka telah pergi ke luar negeri, di luar yurisdiksi FWO," tambah Crook.
Investigasi FWO dilakukan secara menyeluruh. Para penyelidik FWO mendatangi ratusan perkebunan di Australia untuk menemui pekerja dan pemilik perkebunan.
Dalam forum di Brisbane pekan lalu, Crook menyampaikan masalah paling umum yang muncul selama penyelidikan yaitu tingkat upah pekerja. Mereka dibayar berdasarkan atas seberapa banyak buah yang mereka panen.
"Kami mendapati pekerja dibayar per satuan (buah yang dipanen) padahal kesepakatan kerjanya tidak seperti itu. Kesepakatan ini harus diberikan ke pekerja secara tertulis, berisikan berapa tingkat upahnya," katanya. Video: Modern slavery in Australia: Hidden in plain sight (7.30)
Tidak pakai slip gaji
Crook mengatakan penyelidikan FWO sangat sulit karena pembayaran ke pekerja seringkan dibuat tanpa pembukuan, tidak pakai slip gaji atau pencatatan yang memadai.
"Hal tidak memungkinkan pekerja mengetahui berapa banyak mereka digaji, berapa banyak pajak yang telah dipotong dan berapa banyak dana pensiun atas nama mereka," katanya.
Pada 2017, Pemerintah Federal telah mengubah Undang-undang Fair Work untuk mengatasi permasalahan ini.
Hukuman denda bagi pelanggaran serius dinaikkan sepuluh kali lipat, sementara para majikan kini dilarang meminta uang kembali uang dari pekerjanya.
Permasalahan lainnya yang juga menantang adalah rumitnya masalah subkontraktor di kalangan penyalur tenaga kerja.
"Kami mendatangi suatu perkebunan dan menemukan mereka berurusan dengan satu atau dua kontraktor. Namun ternyata kontraktor tersebut memiliki beberapa lapis subkontraktor lagi yang tidak diketahui oleh para petani," kata Crook.
Menurut dia, sekitar 20 persen laporan atau permintaan bantuan kepada FWO datang para pekerja.
"Hampir satu dari lima laporan. Jumlah itu meningkat, lebih dari setengah kasus yang ke pengadilan tahun lalu berasal dari laporan mereka," katanya.Petani dapat dimintai pertanggungjawaban
Menurut laporan University of Adelaide tahun 2016, sekitar 78 persen petani Australia bergantung pada pekerja asing untuk memanen tanaman sayuran mereka.
Sementara itu, Biro Pertanian serta Sumber Daya Ekonomi dan Sains Australia mengatakan sekitar 70 persen petani bergantung pada tenaga kerja asing.
Crook mengatakan tidak semua petani menggunakan perusahaan penyalur tenaga kerja yang licik, atau mengambil keuntungan jika menggunakan pekerja asing secara langsung.
"Saya tidak mengatakan semua orang berbuat seperti itu. Namun kami kami melihatnya secara konsisten di seluruh negeri," katanya.
Dia menyatakan petani dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai turut serta bersama perusahaan penyalur tenaga kerja yang licik sebagaimana diatur dalam UU Fair Work. Video: How labour hire villains make millions from Australia's 'modern slavery' market (ABC News)
Tanggapan petani
John Paul Slaven, seorang petani sayuran di Ord Vsalley Australia Barat, kepada ABC menyatakan muak karena dicurangi para petani yang menggunakan tenaga kerja murah.
Tahun ini dia memutuskan tidak menanam sayuran karena tidak lagi mampu membayar para pekerja untuk panen. Dia mengaku frustrasi karena sejumlah petani bertindak tidak etis.
"Bukan bahwa saya melakukannya, namun saya yakin jika saya juga mengeksploitasi pekerja, saya bisa lolos dengan itu, dan akan untung kembali. Akan sangat mudah," katanya.
"Ketika harga impas mereka lebih rendah dari harga kami, itu menekan kami, karena mereka dapat terus berproduksi semantara kami tidak bisa lagi," tambahnya.
"Hal itu memberi pangsa pasar lebih besar pada mereka dan akhirnya tetap untung, sedangkan petani seperti saya yang melakukan hal yang benar, sudah tidak bisa," ujar Slaven.
Rachel Mackenzie, dari kelompok lobi sektor perkebunan di Queensland, Growcom, mengatakan industri ini perlu memberikan imbalan kepada petani yang bertindak secara benar.
"Kami bekerja sama dengan supermarket dan pengecer lainnya untuk mengembangkan mekanisme menyingkirkan operator licik dari mata rantai pasokan," katanya.
"Kita harus berhenti ditentukan oleh denominator terendah. Sebaliknya kita harus memberikan manfaat bagi mereka yang melakukannya secara benar. Manfaat itu harus berupa akses pasar," ujar Mackenzie.
"Industri menyadari hal ini dan ingin proaktif melakukan hal yang benar," tambahnya.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cara Terbaik Membantu Orang Tunawisma di Australia