Sepertiga Hati Jefri untuk si Putri

Senin, 19 Desember 2016 – 00:07 WIB
Sabira digendong sang ayah, Jefriza, bersama sang bunda, Cut Linda, dan adiknya. HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS. Foto: HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS

jpnn.com - DI Indonesia, masih jarang rumah sakit yang mampu melakukan operasi transplantasi hati.  Ini karena , penderita atresia bilier di Indonesia tidak banyak.

 

Selain Battar Abinaya Basupati, Sabira Hurin Ien dan Josua Immanuel Simanungkalit adalah dua di antara sedikit pasien gangguan fungsi hati itu.

BACA JUGA: Demi si Buah Hati, Mengharukan...

SAHRUL YUNIZAR, Jakarta

BACA JUGA: Othok-Othok, Pendeteksi Gempa Sederhana Made In Warga Jogja

AROMA khas Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, sudah biasa bagi Jefriza. Sejak kali pertama menginjakkan kaki di Jakarta akhir tahun lalu, dia berkali-kali keluar-masuk RSCM. Itu dilakukan demi putri pertamanya, Sabira Hurin Ien.

Balita asal Aceh Tengah tersebut divonis menderita atresia bilier. Sejak dia lahir, gejala dan tanda-tanda adanya penyakit kelainan fungsi hati karena penyumbatan pada saluran empedu itu terlihat di fisiknya.

BACA JUGA: Lupa Nazarnya, akan Ditagih Melalui Mimpi

Namun, Jefriza mendapatkan kepastian soal penyakit anaknya itu ketika usia Sabira menginjak dua bulan.

Informasi tersebut dia terima setelah menyambangi beberapa rumah sakit. Termasuk, Rumah Sakit Lam Wah Ee, Malaysia.

Pria yang akrab dipanggil Jefri itu mengungkapkan, keputusan membawa Sabira berobat ke Malaysia diambil setelah melihat bayi perempuan kelahiran 15 Mei 2015 tersebut terbaring lemah di dalam inkubator Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin, Banda Aceh.

Semula, Jefri sudah tenang karena diagnosis Rumah Sakit Lam Wah Ee menyebutkan Sabira hanya terserang neonatal hepatitis. Yakni, radang hati pada bayi baru lahir.

Diagnosis itu memantapkan Jefri dan istri, Cut Linda Marheni, untuk membawa Sabira pulang. Lagi pula, dokter di Malaysia memastikan radang hati yang dialami Sabira bisa sembuh dengan obat yang mereka berikan.

Sepulang dari Malaysia, kondisi Sabira bukannya membaik, melainkan justru memburuk. Sebulan berikutnya, Jefri kembali membawa Sabira ke negeri jiran itu. Namun, dokter di sana masih yakin Sabira akan sembuh.

Hanya menunggu waktu. Maksimal enam bulan ’’sakit kuning’’ Sabira akan hilang. Syaratnya, bayi itu mesti mengonsumsi obat secara teratur.

Kenyataannya, kondisi Sabira tidak banyak berubah. Hal itu membuat orang tuanya mulai khawatir. Hingga akhirnya, Jefri membawa Sabira berobat di tempat lain. Dia tidak tega melihat tubuh Sabira yang makin menguning, ditambah perutnya yang terus membesar.

’’Oleh dokter, saya diminta segera membawa Sabira ke Jakarta. Dia terkena atresia bilier,’’ kata Jefri. Dia sempat kalut mendapat kabar kurang baik tersebut. Apalagi kala itu istrinya tengah hamil anak kedua.

Benar saja, dokter di RSCM Jakarta langsung menyarankan Jefri agar anaknya segera menjalani operasi transplantasi (cangkok) hati.

Hal itu diyakini menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa Sabira.

Siapa yang menjadi donor? Tidak ada pilihan lain, Jefri harus merelakan sepertiga hatinya untuk dicangkokkan ke organ hati putrinya.

Rangkaian tes untuk persiapan operasi pun dilakukan. Jefri tidak ambil pusing soal biaya. Dia yakin Yang Mahakuasa bakal menolong.

Sambil menunggu jadwal operasi, Jefri, Sabira, dan Cut Linda pulang ke kampung halaman di Aceh Tengah. Baru setelah ada kepastian tanggal operasi, 10 Juni 2016, mereka terbang kembali ke Jakarta.

Saat itu, Jefri merasakan atmosfer RSCM tidak seperti biasa. Dia merasa batinnya tertekan. Akibatnya, degup jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat dingin pun keluar. Namun, demi sang anak, dia ikhlas sepotong hatinya diambil.

Sabira termasuk pasien atresia bilier yang kuat. Bukan hanya karena dia perempuan, melainkan proses pascaoperasinya berlangsung cepat.

Hanya dibutuhkan enam hari sejak operasi sampai dia keluar dari ruang intensive care unit (ICU).

Kemudian, dilanjutkan perawatan secara intensif di ruang perawatan. Lantaran kondisinya cepat membaik, tidak sampai dua minggu, Sabira boleh pulang.

Proses yang dijalani Sabira itu termasuk cepat bila dibandingkan dengan pasien atresia bilier lain. Misalnya, Battar.

Setelah operasi, bocah itu masih beberapa kali keluar masuk RSCM, sedangkan Sabira tidak. Proses yang dia jalani tergolong mulus.

Hanya, periksa rutin masih harus dilakukan. ’’Setiap 2–3 hari kami harus membawa Sabira kontrol di rumah sakit,’’ ungkap Jefri.

Memang, tidak banyak perubahan yang dialami Jefri pascaoperasi transplantasi hati. Dia hanya merasa cepat lelah. Namun, bukan itu yang membuat dia repot. Kelahiran anak keduanyalah yang membuat Jefri kewalahan.

Bagaimana tidak? Istrinya melahirkan 13 hari setelah Jefri dan Sabira menjalani operasi transplantasi. Alhasil, semakin repot.

Selain mengurus diri sendiri, Jefri dan istri mesti mengurus Sabira dan adiknya.  ’’Untung semua berjalan lancar. Tidak banyak kendala yang berarti,’’ tutur Jefri.

Cerita lain datang dari Josua Immanuel Simanungkalit. Anak tunggal pasangan Averiyanto Farolan dan Ervina Tambun itu harus menunggu lama untuk menjalani operasi transplantasi hati.

Sejak didiagnosis menderita atresia bilier pada usia dua bulan, Josua melaksanakan transplantasi hati pada usia 3 tahun 8 bulan.

Serupa dengan pasien atresia bilier lainnya, operasi transplantasi Josua juga dilaksanakan di RSCM. Operasi dilangsungkan pada 11 Agustus 2016. Ayahnya, Averiyanto Farolan, yang menjadi pendonor hati untuk Josua.

Ketika berjumpa Jawa Pos, Ervina mengatakan, biaya bukan satu-satunya kendala yang membuat operasi transplantasi hati Josua dan ayahnya tertunda begitu lama.

Kesiapan ayahnya turut berpengaruh. Sebab, semula dia ragu untuk mendonorkan hatinya kepada putra semata wayangnya itu. Namun, perasaan tersebut sirna begitu melihat Josua sering muntah darah.

Bukan hanya itu, Josua juga kerap menangis lantaran sering mimisan. Bukan mimisan biasa. Setiap darah keluar dari hidungnya, dibutuhkan waktu lama untuk berhenti.

”Meski sudah saya tutup hidungnya, tetap saja darah keluar terus,” kenang Ervina.

Lantaran kondisi Josua terus memburuk itulah, sang ayah lantas memberanikan diri untuk naik ke meja operasi. ”Saya siap jadi pendonor,” kata Averiyanto.

Setelah itu, proses menuju operasi transplantasi hati antara anak dan ayah tersebut dimulai. Biaya besar untuk operasi itu memang sempat mengganggu pikiran orang tua pasien.

”Tapi, demi kesembuhan Josua, apa pun akan kami lakukan,” tegas Ervina.

Operasi berjalan sukses dan lancar. Biaya operasi yang sempat jadi masalah ternyata bisa diatasi dengan cepat.

Averiyanto dan Ervina mendapat bantuan dari mana-mana. ”Puji Tuhan, Josua sekarang bisa tersenyum,” ujar Ervina. (*/c11/c5/c9/ari)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak-anak SD yang Dilukai dengan Pisau Dapur Sudah Mulai Pulih


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler