Sepuluh Parpol Gugat Thershold 2,5%

Selasa, 13 Januari 2009 – 20:16 WIB
JAKARTA – Sepuluh partai politik akan mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK)Kali ini, yang dipermasalahkan adalah pasal 202 ayat (1) UU Pemilu tentang ambang batas perolehan suara 2,5 persen dari suara sah nasional bagi parpol yang berhak menempatkan calegnya di kursi DPR.

Sepuluh parpol yang akan mengajukan uji materi pasal 202 ayat (1) itu antara lain  Partai Hati Nurani Rakyat  (Hanura), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Patriot, Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru, serta Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan).

Dengan didampingi pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 10 parpol itu akan mengajukan gugatan ke MK, Rabu (14/1)

BACA JUGA: Masa Kampanye, DPR Perketat Absensi

Seperti disebutkan pasal 202 ayat (1) UU Pemilu, Parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Dalam jumpa pers tentang rencana pengajuan uji materi tersebut di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (13/1), Ketua YLBHI Patra M Zen yang akan mendampingi 10 parpol itu menyatakan, ketentuan di UU Pemilu tentang ambang batas 2,5 persen bagi parpol sebagai batas minimal untuk memiliki kursi di DPR bertentangan dengan UUD 1945


“Pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah) tidak mendasarkan perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi, tetapi berdasar argumen kekuasaan semata," ujar Patra.

Menurutnya, aturan teresebut jelas akan menghilangkan jaminan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam konstitutsi

BACA JUGA: PPP Khawatirkan Pemilu Molor

Pasalnya, dengan aturan itu maka terjadi pertentangan antara parliamentary threshold dengan asas keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih baik.

Patra menyebutkan, terdapat empat pasal dalam UUD 1945 yang ditabrak pasal 202 UU Pemilu
Pertama adalah pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum

BACA JUGA: PPP Khawatirkan Pemilu Molor



Dua, aturan ambang batas juga bertentangan dengan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Tiga, pasal 202 ayat (1) UU Pemilu jelas bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Terakhir, UU Pemilu tersebut bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pada kesempatan sama, ketua umum PNBK Eros Djarot menyatakan, logikanya jika MK sudah memutuskan bahwa caleg yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai caleg jadi maka seharusnya ambang batas 2,5 persen itu tidak berlakuMenurutnya, seharusnya caleg yang jelas-jelas dipilih langsung oleh rakyat dengan suara terbanyak tidak terdegradasi oleh aturan ambang batas 2,5 persen.

“Dengan sistem suara terbanyak, seharusnya tidak boleh ada kursi yang menguap gara-gara tidak mampu meraih 2,5 persen suara sah nasional,” ulasnya.

Sedangkan Ketua Umum PPD Oesman Sapta menilai aturan ambang batas 2,5 persen jelas-jelas merupakan bentuk pengingkaran hak politik rakyat dan melanggar hak asasi manusia“Apa artinya demokrasi dan Pemilu kalau begitu? Ini akan mengebiri suara rakyat karena dukungan rakyat tidak sampai ke senayan,” tandas mantan wakil ketua MPR ini.(ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rizal Ramli Minta Bantuan Amien Rais


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler