jpnn.com, JAKARTA - Program perlindungan terhadap saksi sudah sepatutnya diserahkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bukan aparat penegak hukum.
Hal itu sudah diatur dalam Undang-undang nomor 13 tahun 2006 yang telah direvisi menjadi UU 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
BACA JUGA: MoU Perlindungan Saksi KPK dan LPSK Sudah Lama Berakhir
Hal ini penting untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan.
Hal ini terungkap dalam rapat LPSK dengan Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/8).
BACA JUGA: Pansus Angket KPK: ICW yang Wajib Dievaluasi
Dalam rapat tersebut, pansus menggali hubungan antara LPSK dan KPK dalam hal perlindungan saksi. Termasuk masalah pengelolaan safe house dan penetapan justice collaborator (JC).
Ketia Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, pihaknya ingin mendapatkan klarifikasi dari LPSK terkait hubungan kelembagaan antara LPSK dan KPK.
BACA JUGA: LPSK Merasa Lebih Berwenang soal Rumah Aman ketimbang KPK
Karena LPSK dan KPK sama-sama dibentuk menggunakan UU hanya tugas dan fungsinya saja yang berbeda.
“Pada praktiknya, ada saksi yang dilindungi sendiri oleh KPK. Semestinya kan oleh LPSK,” ungkap Agun.
Pada rapat itu, Pansus Angket KPK meminta penjelasan perihal terminologi safe house.
Sebab, sepengetahuan mereka hanya UU Perlindungan Saksi dan Korban yang khusus menyebut safe house.
Semendawai mengatakan, perihal safe house yang katanya dimiliki KPK di dalam pengelolaannya tidak ada koordinasi sama sekali dengan LPSK.
Sebab, kata Semendawai, masing-masing merupakan lembaga mandiri dan tidak ikut campur satu sama lain.
“Dalam UU 31/2014, LPSK yang berwenang mengelola rumah aman. LPSK memiliki SOP (standar operasional prosedur) sendiri dan syarat tertentu,” ujar Semendawai.
Dia mengatakan, idealnya jika ada saksi dari penegak hukum termasuk KPK yang potensi ancamannya sangat tinggi, serahkan masalah perlindungannya kepada LPSK.
Karena perlindungan saksi merupakan kewenangan LPSK sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Koordinasi dengan pimpinan KPK tidak ada, khususnya dengan pimpinan KPK periode ini,” ungkap dia.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo menambahkan, sejak 2016 hingga saat ini, saksi yang direkomendasikan perlindungannya dari KPK hanya ada satu.
Sedangkan periode yang sama, saksi yang dirujuk penegak hukum lain yakni kepolisian dan kejaksaan mencapai 342 kasus (gabungan kasus termasuk korupsi).
“Jadi, tidak imbang. Tapi, LPSK tidak tinggal diam dan terus proaktif menawarkan perlindungan,” ujarnya.
Sedangkan Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menyatakan, perihal pengelolaan safe house yang katanya dimiliki KPK, pihaknya baru mengetahui permasalahan tersebut dari pemberitaan media setelah adanya temuan dari Pansus Angket KPK.
”Dalam peraturan bersama antara LPSK, Kapolri, Jaksa Agung, Menkumham dan Ketua KPK tahun 2011, perlindungan saksi kasus tertentu diserahkan ke LPSK,” tegas Edwin. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Belum Ada Satu pun Saksi e-KTP Minta Perlindungan LPSK
Redaktur & Reporter : Boy