jpnn.com, JAKARTA - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai enggan mengomentari soal rumah aman atau safe house yang dikelola Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, dia menyebut LPSK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tentang rumah aman.
Menurut Semendawai, LPSK belum menemukan menemukan aturan eksplisit yang menyebut lembaga lain punya kewenangan mengelola safe house. "Kalau diterjemahkan dari pasal tertentu silakan saja," kata Semendawai sebelum rapat dengan Pansus Hak Angket KPK di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/8).
BACA JUGA: Belum Ada Satu pun Saksi e-KTP Minta Perlindungan LPSK
Dia menjelaskan, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur lembaga yang mempunyai kewenangan mengelola rumah aman adalah LPSK. Semendawai tak melihat ada aturan yang memberi ruang bagi lembaga lain untuk mengelola rumah aman.
"Berdasarkan pasal yang ada di dalam UU itu, kami menyimpulkan bahwa kewenangan mengelola rumah aman itu LPSK. Jadi, LPSK yang diberikan mandat untuk mengelola," kata Semendawai.
BACA JUGA: KPK Kalah Jauh Dari Lembaga Antikorupsi Hongkong
Hanya saja, dia tak mau secara eksplisit menyebut KPK tidak berhak mengelola rumah aman. "Mungkin kalau yang lain menerjemahkan seperti itu, silakan ya," ungkapnya.
Yang jelas, Semendawai menegaskan, dalam UU 31/2014 mengatur hak saksi ditempatkan di rumah aman. Sedangkan LPSK menjadi pihak yang memiliki kewenangan mengelolanya.
BACA JUGA: Pansus Angket Ajak KPK Buka-bukaan
"Kalau ada institusi lain yang mengacu UU berbeda, ya saya tidak tahu," katanya.
Semendawai mengatakan, dalam beberapa kasus tertentu, KPK dan LPSK selalu berkoordinasi. Misalnya, ketika ada saksi atau justice collaborator yang direkomendasikan KPK untuk dilindungi.
Menurut Semendawai, dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK memang ada aturan yang menyebut lembaga antirasuah itu berkewajiban memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan atau keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Namun, katanya, UU KPK dibuat sebelum ada UU 31/2014.
"Setelah UU 31/2014 itu ada maka harusnya setiap perlindungan saksi maupun kebijakan perlindungan saksi sebaiknya dikoordinasikan dengan LPSK," pungkas Semendawai.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masinton: Data ICW Ibarat Lihat Monas Pakai Sedotan Kecil
Redaktur & Reporter : Boy