Serang 30 Pos Polisi, Milisi Rohingya Klaim Membela Diri

Sabtu, 26 Agustus 2017 – 06:15 WIB
Patroli tentara Myanmar. Foto: AP

jpnn.com, YANGON - Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan terorganisir dan hampir serentak terhadap 30 pos polisi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Jumat (25/8).

Sebanyak 71 orang kehilangan nyawa akibat aksi tersebut. Mereka yang tewas terdiri dari 59 prajurit ARSA, 1 orang tentara, 1 petugas imigrasi, dan 10 polisi.

BACA JUGA: Militan Rohingya Serbu Pos Polisi dan Markas Tentara, 71 Tewas

Dalam pernyataan lewat akun Twitter-nya, ARSA tidak menyebut berapa jumlah anggotanya yang tewas. Kelompok yang dulu bernama Harakah Al Yaqin itu mengancam bakal melakukan serangan serupa di wilayah lain.

ARSA menuding pasukan Myanmar telah membunuh dan memerkosa etnis Rohingya. Serangan yang mereka lakukan kemarin hanyalah usaha mempertahankan diri.

BACA JUGA: Pulang Liputan, Tiga Jurnalis Ditangkap Militer

Sebab, selama dua pekan ini, Kota Rathetaung, Rakhine, tempat etnis Rohingya bermukim, telah diblokade militer Myamar. Imbasnya, penduduk Rohingya tewas kelaparan.

’’Karena mereka akan melakukan hal serupa di Maugdaw, kami akhirnya harus bertindak untuk mendorong pasukan Burma pergi,’’ bunyi pernyataan ARSA.

BACA JUGA: Perkiraan Starter Timnas U-16 Saat Kontra Myanmar

Sejak 12 Agustus lalu, pasukan Myanmar memang kembali diterjunkan ke Rakhine. Ada sekitar 500 tentara yang diterjunkan untuk mencari militan Rohingya.

Imbasnya, 3.500 etnis Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena takut tragedi Oktober tahun lalu terulang.

Bentrokan kemarin seakan membenarkan perkiraan laporan komisi khusus yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan.

Dalam laporan yang diungkap ke publik Kamis (24/8), dijelaskan konflik di Rakhine bisa berkobar lebih besar jika pemerintah Myanmar tidak mengambil langkah konkret untuk mengatasinya.

Solusi yang ditawarkan adalah berhenti menekan dan menganaktirikan etnis Rohingya. Sebab, represi dan kehadiran lebih banyak pasukan keamanan hanya membuat penduduk yang putus asa itu kian rentan direkrut kelompok ekstremis.

Meski begitu, Annan tidak sepakat dengan serangan ARSA itu. ’’Tidak ada alasan yang bisa membenarkan pembunuhan secara brutal dan tidak masuk akal seperti itu,’’ tegasnya.

ARSA adalah contoh nyata kelompok ekstremis yang lahir dari konflik berkepanjangan. Kelompok itu muncul pasca bentrokan komunal antara pemeluk Buddha dan etnis muslim Rohingya di Rakhine yang meletus pada 2012 lalu.

Mereka dibentuk oleh kelompok etnis Rohingya yang tinggal di Arab Saudi. Berbagai lembaga pengamat takut pemerintah Myanmar akan mengulang kesalahan serupa.

Yaitu, menerjunkan lebih banyak pasukan untuk merespons serangan dan pada akhirnya hanya memicu bentrokan yang lebih buruk.(Reuters/AFP/Aljazeera/sha/c19/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesawat Militer Myanmar Jatuh, Serpihan Ditemukan, 120 Orang Belum Jelas Nasibnya


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler