Sertifikasi Usaha Pariwisata Terkendala Biaya Auditor

Minggu, 25 September 2016 – 01:17 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - SURABAYA – Penyelenggaraan sertifikasi usaha pariwisata di daerah terkendala masalah nonteknis.

Hingga kini, baru sekitar 20 persen usaha yang mengantongi sertifikat.

BACA JUGA: Anak Usaha Astra Sebar Dividen Rp 190 Miliar

Para pelaku usaha terkendala kegiatan assessment atau penilaian.

Ketua Dewan Komisi Tata Krama (Kopeta) Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Jatim Nanik Sutaningtyas tak menampik hal itu.  

BACA JUGA: LLP-KUKM Antusias dengan Kehadiran Indonesia Fashion & Craft 2016

’’Kalau di Jakarta, bisa jadi semua perusahaan sudah mengikuti sertifikasi usaha tersebut. Karena kebanyakan lembaga sertifikasi usaha berpusat di sana sehingga proses sertifikasi mudah. Sementara di Surabaya, untuk bisa dinilai, harus mendatangkan auditor ke daerah. Biaya mendatangkan itu yang besar,’’ ujarnya kemarin (23/9).

Sementara itu, kegiatan sertifikasi profesi untuk tenaga kerja di sektor pariwisata dinilai sudah maksimal.

BACA JUGA: Pertamina Siap Campur Solar Nonsubsidi dengan Biodiesel

Sejak dijalankan pada 2000, hampir seluruh sumber daya manusia di agen perjalanan wisata sudah memiliki sertifikat tersebut.

Hanya sebagian kecil yang belum.

’’Biasanya yang belum itu mereka yang pindah ke tempat kerja baru dan waktunya memperbarui sertifikat. Masa berlaku sertifikat itu tiga tahun,’’ katanya.

Sertifikasi penting, terutama persaingan dengan negara lain. Sumber daya manusia Indonesia dinilai tidak kalah dengan luar negeri.

Bahkan, permintaan tenaga kerja di bidang pariwisata di luar negeri juga tinggi.

’’Ada hotel dari Arab Saudi yang meminta rekomendasi tenaga kerja Indonesia untuk dipekerjakan di sana. Jadi, sebenarnya kualifikasi yang dimiliki tenaga kerja Indonesia sudah sesuai dengan standar internasional,’’ papar Nanik.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim Mochamad Soleh menuturkan, perkembangan sertifikasi tenaga kerja di bidang perhotelan cenderung lambat.

Kini ada sekitar 50 persen tenaga kerja yang sudah tersertifikasi. Bukan hanya tenaga kerja, sertifikasi untuk usaha hotel juga relatif lambat.

Tercatat baru separuh dari total hotel yang sudah menjalani sertifikasi usaha.

’’Lambatnya kegiatan sertifikasi karena secara industri kondisi perhotelan dan restoran sedang lesu. Ditambah tidak adanya insentif dari pemerintah untuk mendukung kegiatan sertifikasi,’’ jelasnya. (res/c15/sof/jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Investasi Obligasi tak Menarik, Properti Paling Menjanjikan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler