Sesajen

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Senin, 17 Januari 2022 – 14:29 WIB
Ilustrasi sesajen. Ilustrator: Sultan Amanda/JPNN.com

jpnn.com - Dalam upacara ritual tradisional, sesajen atau sesaji, adalah jamuan yang terdiri dari makanan, lauk-pauk, seperti ayam dan telur, nasi putih atau bubur merah, kembang telon tiga warna, dan dilengkapi dengan dupa atau kemenyan.

Sesajen dikeluarkan dalam upacara keagamaan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi dengan kekuatan supranatural tertinggi.

BACA JUGA: Para Pangeran

Cerita mengenai sesajen menjadi kehebohan nasional setelah seorang sukarelawan bencana Gunung Semeru, Lumajang, melemparkan dan menendang sajen. Adegan tersebut direkam dan videonya diunggah ke media sosial sehingga memantik reaksi keras dari beberapa kalangan, terutama masyarakat Lumajang.

Polisi bertindak cepat dengan menangkap lelaki penendang sesajen itu dan menetapkannya sebagai tersangka. Pelaku dikenai pasal menyebarkan permusuhan dan terancam hukuman empat tahun penjara.

BACA JUGA: Ferdinand & Anak Pak Lurah

Pasal penistaan agama yang dikenakan terhadap penendang sesajen sama dengan yang diterapkan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017.

Reaksi pun bermunculan. Ada yang menganggap kasus ini tidak perlu harus dibawa ke ranah hukum. Ada pula yang menyatakan pelaku tidak perlu dihukum, tetapi cukup dipertemukan dengan warga, dimediasi, dan harus meminta maaf.

BACA JUGA: Anies, Ganjar, dan Layangan Putus

Namun, ada pihak yang dengan keras meminta agar polisi menghukum pelaku. Pemuda Anshor Lumajang secara resmi melaporkan pelaku ke polisi.

Bupati Lumajang Thoriqul Haq yang marah mengatakan ingin bertemu dan menginterograsi pelaku untuk mengetahui motivasinya.

Kasus itu memicu perdebatan lama mengenai syariat Islam dan tradisi Jawa. Tradisi sesaji sudah menjadi bagian dari budaya Jawa yang mengurat dan mengakar di daerah pedesaan.

Bentuk sesaji bermacam-macam, mulai sekadar telur dan bunga-bunga, sampai yang paling mewah, seperti kepala kerbau. Semua diyakini punya simbol dan makna tersendiri dengan tujuan masing-masing.

Sesajen yang terlihat di Gunung Semeru terlihat terdiri dari nasi putih lengkap dengan lauk. Nasi itu dibentuk sebagai tumpeng dengan bentuk mengerucut yang dilambangkan sebagai simbol menuju kekuatan supranatural tertinggi.

Ada juga lauk-pauk seperti ayam dan buah-buahan sesisir pisang. Ada beberapa jenis kembang, disebut sebagai kembang telon karena terdiri dari tiga jenis dan warna, biasanya mawar, melati, dan kembang boreh.

Tentu saja yang tidak pernah ketinggalan adalah dupa atau kemenyan, yang oleh beberapa kalangan dipercaya sebagai makanan kesukaan makhluk halus.

Sesajen disajikan di atas tampah besar untuk jenis sesaji dengan uba rampe yang komplet. Kadang juga disajikan dalam bentuk anyaman bambu kecil untuk sesajen yang lebih sederhana.

Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu seperti pohon keramat, di perempatan jalan, di pinggir hutan, atau di puncak gunung.

Kepercayaan Jawa kuno sebelum kedatangan Islam didominasi oleh animisme dan dinamisme yang meyakini benda-benda seperti pohon, batu, gunung, laut, dan hutan mempunya roh yang menjadi penunggu. Roh-roh itu mempunyai kekuatan untuk memberi keberuntungan dan sebaliknya juga bisa mencelakakan.

Masyarakat primitif kemudian berkembang menjadi masyarakat yang mempercayai metafisika, bahwa ada kekuatan besar yang mengendalikan dunia. Kemudian muncullah agama Hindu dan Buddha yang mempunyai serangkaian kepercayaan dengan unsur mistik yang kuat.

Ketika Islam datang ke Jawa pada abad ke-15, ajaran tauhid yang menjadi intinya secara diametral bertentangan dengan ajaran mistik Hindu.

Namun, para pendakwah Islam yang dikenal sebagai Wali Sanga atau Wali Sembilan mengambil langkah dakwah yang kompromistis dengan banyak mengakomodasi keyakinan Hindu yang sudah menyatu dengan budaya lokal.

Karena itu lahirlah Islam Jawa yang sinkretis dan merupakan paduan Islam dengan sufisme yang banyak mengadopsi unsur mistik Jawa. Dengan strategi dakwah yang adaptif itulah Islam bisa diterima dengan mudah di Jawa. Islam Jawa kemudian mempunyai corak khas karena perpaduannya yang kental dengan mistisisme Jawa.

Prof. Simuh melakukan studi yang mendalam tentang praktik Islam mistis ini. Dalam ‘Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa’, Simuh melihat sufisme Jawa sebagai ajaran yang mempunyai akar yang sama dengan tasawuf Islam.

Menurut Simuh, tasawuf bisa diartikan sebagai mistik yang tumbuh dalam Islam. Tujuan utama tasawuf ialah untuk bersatu dengan Tuhan secara makrifat.

Pokok-pokok ajaran tasawuf meliputi distansi atau menjaga jarak dari nafsu serta urusan duniawi, dan konsentrasi atau memusatkan pikiran untuk berzikir pada Allah. Puncak proses tasawuf adalah tercapainya Insan Kamil, manusia sempurna, yang berhasil berhubungan dan menyatu dengan Allah.

Perkembangan tasawuf ditentang oleh para mujtahid yang lebih menekankan pada pemahaman Islam yang murni yang langsung bersumber Al-Qur'an dan hadis. Tasawuf dinilai tidak sesuai syariat dan menodai kemurnian ajaran Islam.

Ulama sufi Husain bin Mansyur atau terkenal sebagai Al-Hallaj dihukum mati karena dianggap merusak tauhid. Setelah kematian Al-Hallaj, para pengikut sufi malah makin militan.

Kematian Al-Hallaj justru dianggap sebagai jihad dan syahid, dan pertentangan antara syariat dengan tasawuf makin meruncing.

Lalu muncullah Imam Al Ghazali, ahli syariat dan teolog, yang kemudian menyusun landasan yang menyediakan ruang kompromi bagi syariat dan mistisisme. Melalui kitab Ihya' Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan Islam dan tasawuf bisa saling mendukung dan menguatkan, bukannya saling menjatuhkan.

Sejak Islam masuk ke Jawa sufisme Jawa berkembang pesat. Islam masuk lewat wilayah-wilayah pesisir Utara Jawa seperti Gresik, Tuban, dan Jepara. Dari ketiga tempat tersebut, Islam menyebar secara cepat ke seluruh Jawa.

Islam dapat diterima dengan mudah, karena para wali maupun sufi menerapkan ajaran sufisme yang akrab dengan tradisi masyarakat setempat. Para wali dan sufi juga menggunakan pendekatan kompromistis dan akomodatif dalam kegiatan dakwah.

Mereka tidak terlalu mempersoalkan kemurnian Islam dan menggunakan simbol tradisi seperti wayang, gamelan, dan tetembangan sebagai alat dakwah. Islam diterima tanpa ketegangan.

Para wali menyusupkan unsur-unsur Islam ke dalam budaya dan tradisi lokal. Kemampuan resepsi masyarakat Jawa terhadap budaya luar sangat lentur, dan budaya Jawa pun terbuka untuk menerima budaya luar dan melakukan adaptasi secara elastis.

Salah satu bentuk sufisme Jawa ialah aliran kebatinan atau kejawen yang merupakan hasil sinkretisme campuran kebudayaan Jawa Budha, Islam, dan Kristen.

Campuran paling dominan terjadi dengan Islam yang kemudian melahirkan Islam Jawi. Ajaran yang paling utama adalah konsep “manunggaling kawula gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhan.

Konsep ini merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu.

Gerakan pemurnian Islam di Timur Tengah yang dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905) di Mesir memengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. Gerakan pembaruan melalui pendidikan dan pengorganisaian gerakan secara modern menginspirasi ulama-ulama pembaru di Indonesia.

Sebelum gerakan reformasi Muhammad Abduh, gerakan pemurnian Islam dimulai di jazirah Arab dengan munculnya Muhammad bin Abdul Wahab pada abad ke-18. Abdul Wahab berkoalisi dengan pemimpin suku lokal bernama Muhammad ibnu Saud yang kemudian berhasil menguasai wilayah Arab yang kemudian disatukan menjadi Saudi Arabia.

Koalisi Abdul Wahab dan Ibnu Saud ini mengusung gelombang baru pemurnian ajaran Islam yang membawa pengaruh ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Keberhasilan Arab Saudi menemukan sumber minyak pada 1970-an membuat negara itu sebagai sentra kekuatan baru Islam, dan menjadikannya sebagai pemimpin gerakan Islam yang sangat berpengaruh.

Ajaran pemurnian yang kemudian disebut sebagai ’Wahabisme’ itu berkembang di Indonesia. Ajaran Wahabisme bersikap tegas terhadap budaya-budaya lokal yang dianggap mencemari kemurnian tauhid.

Wahabisme-Salafisme melakukan pemurnian dengan cara kembali ke ajaran ’salaf’ yang dianggap original sesuai Al-Qur'an dan hadis.

Di Indonesia, gerakan pemurnian itu sering berbenturan dengan sufisme Jawa yang sudah menjadi aliran mainstream dalam masyarakat. Benturan ideologis ini sering mewujud dalam benturan sosial yang berujung pada kegaduhan dan bahkan kerusuhan.

Di Nusa Tenggara Barat, sebuah masjid dan pesantren dibakar oleh masyarakat. Mereka tersinggung karena seorang pendakwah Salafi dianggap melecehkan tradisi ziarah kubur para wali yang sudah menjadi tradisi lokal yang kuat.

Penangkapan lelaki penendang sesajen di Gunung Semeru itu adalah bentuk lain dari benturan itu. Dua peristiwa itu hampir pasti bukan insiden yang terakhir.

Benturan-benturan baru masih akan terus terjadi lagi, karena ada kepentingan politik yang menunggangi.(***)

 

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Boneka Arwah


Redaktur : Antoni
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler