Setengah Tahun Fukushima

Direktur PLTN Fukushima Tak Gajian

Senin, 19 September 2011 – 01:31 WIB

TENTU saya sering menerima tamu dari JepangKadang harus minta maaf karena waktu yang tersedia terlalu pagi: pukul 06.30

BACA JUGA: Menebus Dosa, Bermalam di Penyabungan

"Toh ini di Jepang sudah pukul 08.30," gurau saya kepada tamu-tamu dari Jepang yang umumnya selalu serius itu.

Para tamu itu umumnya dari kalangan kelistrikan
Setelah urusan bisnis selesai, biasanya saya manfaatkan untuk menggali informasi mengenai kelistrikan di Jepang

BACA JUGA: Susi Tetap di Hati

Saya perlu belajar banyak dari para tamu dari negara maju itu
Dari mereka pulalah saya bisa terus memperbarui informasi mengenai kelanjutan nasib pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang setelah terjadi peristiwa kebocoran PLTN Fukushima akibat tsunami 11 Maret lalu.
   
Semua PLTN di Jepang kini menjalani apa yang disebut stress test

BACA JUGA: Kereta Rp 15 Triliun Setahun Hanya Jalan Tiga Hari

Sebuah tes untuk mengukur tingkat ketahanan PLTN menghadapi stres besar, seperti stunami atau gempa yang besarTes itu masih terus berlangsung, di bawah pengawasan badan nuklir duniaYang tidak memenuhi syarat harus melakukan perbaikan dan dites ulangSetelah 54 PLTN itu dinyatakan tahan terhadap stres besar, hasil tes itu kelak diberikan kepada pemerintahSaat itulah pemerintah akan memutuskan: go atau no go.

Tidak ada yang tahu kapan tes itu bisa selesaiTapi, melihat tingginya tingkat ketakutan masyarakat terhadap nuklir, banyak yang pesimistis pemerintah bakal berani mengizinkannya kembaliSaat ini memang masih ada 12 PLTN yang beroperasi, tapi tidak lama lagi juga bakal dihentikanBegitu tiba saatnya unit PLTN tersebut harus dipelihara, operasinya harus dihentikanKemudian, sekalian harus menjalani stress testPengoperasiannya kembali harus menunggu izin baru dari pemerintah.

Berarti Jepang sedang dan akan kehilangan listrik sekitar 40.000 MW (seluruh listrik di Indonesia 35.000 MW)Memang angka itu hanya 15 persen dari total produksi listrik di Jepang, tapi konsekuensinya tetap besarSemua industri besar di Jepang kini harus mengurangi konsumsi listriknya 15 persen.
   
Untuk mengatasi itu tidak ada jalan lainPembangkit-pembangkit tua yang sudah puluhan tahun tidak dipakai itu cepat-cepat diperbaikiSebentar lagi bisa dijalankan kembaliTapi, semua orang tahu pembangkit-pembangkit itu sudah sangat tidak efisienApa boleh buatJepang harus memproduksi listrik dengan cara yang sangat mahalBahan bakar pembangkit-pembangkit tua itu adalah minyak solarJepang pun harus impor BBM senilai Rp 300 triliun/tahun.

Karena itu, meski krisis listrik nanti akhirnya teratasi, persoalan baru segera muncul: siapa yang harus membayar kemahalan itu" Tidak ada rumus lain: konsumenlah yang akan menanggungJepang kini sudah siap-siap menghitung rencana kenaikan listrik yang kelihatannya bisa mencapai 30 persenKalau ini sampai terjadi, kalangan industri di Jepang bakal berteriakAngka kenaikan tersebut akan membuat struktur bisnis di Jepang berubah totalNilai kompetisi ekspornya akan hancur.

Bagi pelanggan rumah tangga, ini mungkin tidak begitu beratMemang tarif listrik rumah tangga di Jepang sudah sekitar USD 22 senHampir empat kali lipat lebih mahal daripada tarif listrik di IndonesiaBerapa jadinya kalau harus naik 30 persen lagi" Tapi, karena pendapatan masyarakat di sana juga tinggi, tarif itu tetap terasa murahHanya 1,5 persen dari total pendapatan per rumah tangga.

Saya perkirakan perdebatan kenaikan tarif listrik di Jepang akan seruTerutama antara masyarakat yang tidak mau nuklir dan industri yang menginginkan tarif listrik murahBayangkan, memproduksi listrik dengan minyak solar bisa lima kali lipat lebih mahal daripada nuklir.

Bagaimana dengan kalangan akademisi? Sama juga dengan di Indonesia, mereka selalu mempersoalkan ini: mengapa tidak beralih ke energi baru? Bukankah potensi tenaga matahari di Jepang mencapai 500.000 MW? Bukankah potensi geotermalnya mencapai 20.000 MW? Bukankah Jepang dikelilingi laut sehingga potensi tenaga anginnya bisa mencapai 100.000 MW? Apa artinya kehilangan 40.000 MW?

Memang selalu ada benturan antara logika akademisi dan logika perusahaan listrikMereka hanya selalu mengemukakan potensiAkademisi selalu mengemukakan "yang mungkin dilakukan"Sedangkan perusahaan listrik hanya melihat "yang bisa dilakukan"Akademisi selalu berbicara masa depanPerusahaan listrik harus mengatasi problem SAAT INI.

Kehilangan 40.000 MW adalah persoalan yang harus dipecahkan SAAT INISedangkan listrik dari geotermal itu, kalaupun bisa dikerjakan, baru didapat tujuh tahun lagi!

Persoalan geotermal di Jepang sama saja: potensi panas bumi itu berada di gunung-gunung dan di hutan-hutan lindungTidak boleh disentuh, apalagi dibongkar-bongkarBiarpun itu untuk proyek geotermal yang misinya sama dengan si hutan lindung itu: memperbaiki lingkunganRupanya sesama program green tidak bisa saling menyalip.

Di Jepang, persoalan geotermal lebih rumit lagiLokasi-lokasi panas bumi yang ada di pegunungan itu umumnya sudah dimanfaatkan untuk spa air panas! Atau spa yang mengandung belerangSudah menjadi pusat-pusat wisata mandiLarisnya bukan main.

Memang para teknolog akan bisa menemukan jalan keluarnya: lakukan bor miring! Artinya, gunung itu dibor dari samping, dari luar lokasi hutan, dari jarak yang sangat jauhPara teknolog bisa menemukan jalannyaTapi, selama ini sudah telanjur ada pameo: mimpi indah para teknolog adalah mimpi buruk para ekonomProyek sumur miring seperti itu akan menjadi begitu mahal.

Kalau listrik di Jepang menjadi sangat mahal, persaingan Jepang dengan Korea semakin seruKorea yang berambisi menggeser Jepang (yang sudah tergeser oleh Tiongkok tahun lalu) punya peluang lebih besarRakyat Korea yang tidak mempersoalkan nuklir bisa mendapat listrik jauh lebih murahDengan tarif listrik yang baru nanti, kalangan industri di Jepang memperkirakan tidak mungkin lagi berproduksi di dalam negeriMereka harus mengalihkan pabrik ke negara yang lebih murah listriknya, seperti Indonesia.

Tentu mereka berharap masyarakat Jepang berubah sikapToh, seberat-berat Fukushima, terbukti sampai saat ini tidak ada satu pun orang meninggal akibat nuklir ituMemang, ada tiga pegawai PLTN Fukushima yang dinyatakan terkena radiasi yang melebihi ambang batas yang bisa diterima manusiaTapi, tiga orang itu baik-baik saja dan kini sudah kembali bekerjaTiga orang itu masih terus diobservasi sampai aman benar.

Hanya, penduduk yang diungsikan masih sangat besarBelum tahu lagi kapan mereka bisa kembali ke kampung halamanIni persoalan besarTraumanya begitu dalam.

Masih banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh direksi dan karyawan perusahaan listrik itu: membangun benteng yang bisa mengurung Fukushima rapat-rapatDengan demikian, radiasi tidak keluar dari reaktorDemikian juga radiasi yang telanjur menyebar ke radius 20 km harus dibersihkan duluSetelah itu, kelak, entah kapan, pengungsi bisa kembali

Sebelum semua itu selesai, masyarakat listrik di Jepang masih sangat menderitaTerutama TEPCO, pemilik PLTN Fukushima, yang kini harus menanggung semua biaya ituBegitu berat beban kerja dan keuangannyaSampai-sampai semua direkturnya tidak boleh menerima gajiDan, gaji semua karyawannya harus dipotong 20 persenSampai waktu yang belum bisa ditentukan.(*)


    Dahlan Iskan
      CEO PLN

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Al Haram Tak Ada Yang Tersinggung


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler