Setoran untuk Oknum Kepala KUA Tinggi

Rabu, 05 Februari 2014 – 08:20 WIB

jpnn.com - BOGOR - Polemik biaya pernikahan bakal semakin panjang. Karena hingga kini pemerintah belum juga menetapkan ongkos resmi yang harus dikeluarkan masyarakat untuk menikah.

 

Situasi ini menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi sejumlah oknum Kepala Urusan Agama (KUA) yang diduga kerap memakan uang lebih di biaya nikah.
    
Dengan belum ditetapkannya biaya pernikahan terbaru, seharusnya masyarakat cukup membayar Rp30 ribu. Nyatanya di lapangan, tarif itu melonjak hingga berkali-kali lipat.

BACA JUGA: Jalan Rusak, Pengawasan Dinas PU Lemah

Penelusuran Radar Bogor (grup JPNN), pasangan yang ingin menikah di Kabupaten Bogor harus mengeluarkan biaya minimal Rp300 ribu. Itu belum termasuk ongkos resmi Rp30 ribu dan uang ala kadarnya untuk penghulu seusai pernikahan berlangsung.
    
Kemana larinya uang Rp300 ribu tersebut? Menurut sejumlah informasi yang dihimpun, uang tersebut dibagi-bagi oknum pejabat KUA. Ploting terbesar atau sekitar 30 persen dari uang yang masuk tentu saja diterima oknum Kepala KUA. Sisanya di bagi-bagi. Di dalam buku kas, pemasukan itu biasanya ditulis pemasukan 'N' atau nikah. Sedangkan saat pembagian, maka uang itu bernama dana 'KS' atau kesejahteraan.
    
“Sisa uang untuk kepala KUA, uang tersebut dibagi-bagi,” ujar sumber Radar Bogor.  Di Kabupaten Bogor setiap harinya terdapat kurang lebih 300 pernikahan (Pada Bulan Haji), dengan angka perbulannya mencapai 3 ribu sampai 5 ribu pernikahan. Tahun lalu (2013) tercatat sekitar 51 ribu pasangan yang sudah dinikahkan.
    
Jika 30 persen benar disetorkan kepada oknum kepala KUA, maka setiap pernikahan dia mendapatkan Rp90 ribu. Bila nilai ini dikalikan dengan jumlah pernikahan perbulan misalnya 150 pasangan, maka oknum tersebut bisa mengantongi Rp13.500.000 juta.
    
“Dari uang itulah makanya oknum kepala KUA bisa membeli mobil dan hidup berkecukupan,” cetusnya. Ditanya soal ini, Kepala Seksi Seksi Urusan Agama Islam (Urais) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor Apud Sihabudin menyatakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak. Karena pemberian uang lebih dari ketentuan itu dinilai tidak melanggar.
    
“Sekali lagi kami tidak mematok tarif di luar kantor, mengenai pemberian atau titipan untuk kepala KUA itu adalah kewenangan sang pengantin seperti kasus dia memberikannya kepada penghulu,” bebernya.
    
Apud mengatakan, selama ini petugas KUA tidak mengetahui  bahwa menerima uang dari hasil menikahkan di luar kantor adalah gratifikasi. Sementara, pemerintah pusat belum juga memutuskan berapa biaya pernikahan yang resmi. Inilah membuat KUA serba salah.

BACA JUGA: Warga Kampung Pulo Sakit Hati, Hanura Desak Ahok Minta Maaf

Sementara itu, Kepala KUA Kecamatan Bogor Selatan Acep Mahfudin membantah jika ada kewajiban atau sistem setoran yang untuk kepala KUA. Dikatakannya, apa yang didapat penghulu selama melakukan kegiatan pernikahan di luar kantor adalah murni keihklasan yang diberikan oleh keluarga.
    
“Saya sama sekali tidak tahu, jika ada sistem setoran seperti itu,” ungkapnya. Angka pernikahan di Kecamatan Bogor Selatan terbilang yang paling besar di Kota Bogor. Mereka mempunyai lima penghulu aktif termasuk kepala KUA. Tidak berbeda dengan KUA di daerah lain, 90 persen pernikahan dilakukan di luar jam kantor dan dilakukan pada Sabtu dan Minggu.
    
Dalam sehari, KUA Bogor Selatan bisa menikahkan 30 pasangan. Sementara dalam sebulan bisa melayani 150 pernikahan. Untuk 2013 saja kurang lebih sekitar 1.700 pasangan yang telah dinikahkan.
    
Sementara itu, dalam uji petik, biaya pernikahan yang dilakukan di kantor hanya dikenakan biaya Rp30 ribu. Namun jika pernikahan di luar kantor, biayanya kian membengkak. Uang yang diterima penghulu dari pengantin bisa mencapai Rp300 ribu, belum ditambah biaya tambahan lainnya dari pihak keluarga.
    
Di tengah-tengah modus pemberian setoran ini, kepastian penggunaan tarif untuk biaya pernikahan di luar jam dinas, masih membuat gamang pejabat Kemenag. Ada dua opsi yang saat ini menyeruak, yaitu apakah menggunakan sistem multi tarif atau tarif tunggal.
    
Isi konsep multitarif itu adalah biaya nikah Rp 0 untuk pasangan dari keluarga miskin dengan menunjukkan keterengan dari pihak berwenang. Kemudian, biaya nikah Rp 500 ribu untuk kelompok pasangan dari keluarga ekonomi umum. Terakhir tarif nikah rata-rata Rp 1 juta untuk keluarga kaya. Keluarga golongan itu bisa dideteksi dengan kemampuan menyewa gedung untuk pernikahan dengan harga di atas Rp25 juta.
    
Sedangkan opsi untuk tarif tunggal, yaitu karena menyoal multi tarif yang berpotensi menimbulkan kecurigaan terhadap penghulu menerima gratifikasi. Tarif tunggal nikah, merupakan biaya yang diberikan pemerintah kepada penghulu yang besarannya sama untuk wilayah Indonesia.  Kemenag menetapkan Rp600.000 untuk sebuah pernikahan sedangkan multi tarif, besarannya bervariasi tergantung lokasi, waktu dan tempat perhelatan pernikahan.  (Ind/d)

BACA JUGA: Dikarungi, Mayat Pria Bertato Dibuang di Kampung Bali

BACA ARTIKEL LAINNYA... Anggaran Dicoret, DKI Gagal Beli Truk Sampah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler