jpnn.com - LEO Hulsman jauh-jauh datang dari Belanda ke Padang khusus untuk meliput Si Patai. Dalam ulasannya, wartawan Belanda itu menyamakan Si Patai dengan Robinhood.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Dibuang dari Jawa, Samin Surosentiko jadi Penduduk Padang
"Patai betul-betul telah menjadi tokoh legendaris," tulis Leo Hulsman. "Tokoh yang bagaikan Robinhood ini, namanya telah terkenal sekali dan sangat populer," sambungnya.
Dengan sangat puitis Hulsman melukiskan…
BACA JUGA: Mahoyak Tabuik, Pesta Pantai Terbesar di Pantai Barat Sumatera
Namanya akan tetap dikenang. Di kala matahari terbenam di belakang jejeran gunung-gunung, dan orang di kampung duduk di depan rumah masing-masing, maka para kakek akan meneruskan pada anak cucunya cerita-cerita tentang Patai yang sendirian menentang pemerintahan Hindia Belanda.
Akan diceritakan pada cucu-cucu, bagaimana suatu malam Patai datang berkunjung. Bagaimana ia memberi lembaran uang dua puluh lima rupiah pada empunya sebuah rumah karena ia ingin menginap di serambi rumah itu.
BACA JUGA: Hikayat Tole Iskandar (3/habis)
Dan uang harus dipakai untuk makan bersama. Itu sebabnya rakyat senang padanya. Kalau pun mau diberi predikat penjahat, maka gelar paling tepat ialah penjahat gentleman.
Dia selalu tidur di serambi depan karena lebih gampang meloloskan diri bila dikepung.
Bandit Kerakyatan
Leo Hulsman tidak sedang mendongeng. Hanya saja, meski dalam tulisannya dia menulis, "pihak Belanda pun tidak semua menganggapnya penjahat belaka," beberapa pekan setelah tulisan itu terbit, Si Patai terbunuh pada malam 3 Februari 1927.
"Kemarin satoe patroli jang dikepalai oleh sersan Menado Lindong soedah menangkap doea orang kawan Si Patai," tulis kantor berita Aneta (nenek moyang kantor berita Antara), 4 Februari 1927.
Lalu, "mereka itoe dipaksa oleh militer menoendjoekkan tempat semboenji Si Patai. Apabila Si Patai melihat kedatangan patroli itoe, ia menjerang dengan pestol browning dan rentjong."
Kemudian, lanjutan beritanya, "militer menembak Si Patai itoe, kena di kepalanja dan toeboehnya, hingga mati. Dalam perkelahian itoe seorang kawan Si Patai, Boejoeng namanja, mati ditembak."
Tentara kompeni berpesta pora. Kepala Si Patai dipancung. Esok harinya, mereka berarak-arakan keliling Padang.
Hasjim Ning, saudagar terkemuka dari zaman Soekarno hingga Soeharto, yang melewati masa kecilnya di Padang mengaku melihat arak-arakan itu.
Kata dia, hari itu kota Padang menjadi gempar. "Tentara berseragam hijau bersama orang-orang bertelanjang dada berarak keliling kota dengan kelewang terhunus. Berteriak-sorak bagai orang mabuk," kenangnya dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang—Otobiografi Hasjim Ning.
Mereka, sambung Hasjim, bergerak maju mengelilingi salah seorang di antaranya. Orang yang dikelilingi itu mengacung-acungkan tombaknya.
"Di ujung tombak itu terpancang kepala Si Patai. Di bagian lehernya yang terpenggal, kelihatan darah sudah menghitam. Matanya terbeliak. Mulutnya ternganga. Rambut Si Patai kusut masai."
Menurut Hasjim, Si Patai seorang pemberani dari Pauh, desa bagian utara Kota Padang. Dia kepala pemberontak melawan Belanda. Banyak membunuh tentara dengan parangnya. Tentara akan gentar dan lari lintang pukang bila berhadapan dengannya.
Seiring berlalunya arak-arakan, Hasjim yang ketika itu masih remaja tanggung bergerombol bersama rakyat lainnya di tepi jalan. Orang-orang pun saling lempar cerita, bahwa Si Patai sebetulnya kebal. Dan peluru yang menembus tubuhnya telah dilumuri minyak babi.
Nah, apa yang diramal Leo Hulsman dalam tulisannya terbukti benar. Setelah kematiannya, cerita tentang Si Patai sang Robinhood Padang Kota tetap hidup di kalangan rakyat.
"Sewaktu masih kecil di akhir tahun tigapuluhan," tulis Rusli Amran, wartawan-cum-sejarawan yang lahir pada 1922, dalam buku Padang Riwayatmu Dulu, dia mengaku sering mendengar cerita Patai, si bandit kerakyatan.
"Namanya diasosiasikan dengan seorang pemberani, ahli berkelahi, benci pada bangsa Belanda dan orang yang mempunyai macam-macam ilmu," kenangnya.
Dalam bukunya itu, Rusli pun bertanya-tanya, "dari begitu banyak yang menjadi korban Belanda, mengapa justru Patai yang sering disebut dan menjadi tokoh legendaris?" --bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hikayat Tole Iskandar (2)
Redaktur : Tim Redaksi