jpnn.com - Tentara Genie Pelajar (TGP) angkat senjata, gagah berani melawan agresi milter Belanda. Soenardi menjadi saksi hidup perjuangan TGP.
DENI KURNIAWAN, Madiun
BACA JUGA: Shaesta Waiz, Pilot Perempuan Terbang Keliling Dunia Sendirian
TUBUH Soenardi sudah tidak lagi gagah. Sebuah tongkat harus menopang badannya tatkala berjalan. Pun, kepekaan indera pendengarannya mulai berkurang.
Namun, kerutan di wajah pria sepuh itu sebenarnya sarat menyimpan kisah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ingatannya masih kuat menyimpan memori puluhan tahun silam.
BACA JUGA: Paskibra Pembawa Baki Sempat tak Direstui Ayahnya
‘’Saya dulu anggota TGP (Tentara Genie Pelajar) di Madiun,’’ ungkap Soenardi saat ditemui Radar Madiun (Jawa Pos Group) beberapa hari lalu.
Mantan prajurit TGP itu sekarang berusia 88 tahun. Soenardi resmi tercatat sebagai anggota TGP pada 1948 silam.
BACA JUGA: Perjuangan Melawan Belanda, Tutut Lihai Bikin Granat
Ada prajurit TGP bernama Hastawan dari Surabaya sengaja datang ke Madiun bersama sejawatnya untuk membuka rekrutmen.
‘’TGP terbentuk tahun 1947. Rekrutmen waktu itu dibuka di Sekolah Teknik (sekarang SMPN 12 Madiun),’’ kenangnya.
Tak ingin ketinggalan, Soenardi dan 97 siswa Sekolah Teknik unjuk diri mendaftar. Mereka tidak ingin Merah-Putih yang sudah berkibar diturunkan kembali oleh tentara penjajah Belanda setelah Jepang menyerah.
Kesempatan membela tanah air berada di depan mata. Soenardi bersama kawan seangkatannya dilatih menjadi tentara pelajar.
‘’Saya dulu khusus dilatih membuat peledak,'' kenang mantan prajurit yang kini tinggal di Gang Rukun, Jalan Gajah Mada, Kelurahan Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, itu.
Pelajar-pelajar sekolah teknik itu juga dibekali strategi perang. Mereka dibagi menjadi tiga gugus tugas. Ada yang khusus peracik bom, pengintai, dan eksekutor.
Soenardi menyebut semboyan ‘’Membungihanguskan Madiun’’ adalah misi utama pasukan TGP saat itu. Bukan dalam arti yang sebenarnya, melainkan menghancurkan akses jalur utama masuk Madiun agar tentara penjajah gagal menguasai objek vital.
‘’Kami mendapat tugas menghancurkan jembatan, supaya penjajah tidak bisa masuk Madiun,’’ ungkapnya.
Soenardi merinci empat jembatan yang menjadi target pengeboman. Yakni, jembatan Manguharjo, Precet, Beteng, dan jembatan Rejo Agung (Patihan).
Strategi meruntuhkan jembatan disusun rapi sebelum kedatangan Belanda sesuai kabar yang diterima dari tim pengintai.
Namun, rencana berubah total. Belanda yang diduga menyerang saat malam, ternyata sudah datang sorenya. ‘’Kami kalang kabut, dua anggota TGP gugur,’’ jelasnya.
Soenardi dan sejawatnya lantas mundur lantaran kalah jumlah. Mereka bergerilya di Saradan, Gemarang, Kare, tembus ke Dungus.
Tidak berakhir di situ, TGP akhirnya menuju Ponorogo. Tentara-tentara pelajar itu akhirnya mendirikan markas sementara di kawasan Pulung.
Di persembunyian, jari jemari Soenardi tidak henti meracik peledak. ‘’Ke mana-mana, saku celana pasti berisi granat,’’ akunya.
Saat berada di markas, tiada hari tanpa siaga. Soenardi dan rekan-rekan seperjuangannya harus berhadapan dengan Belanda saat siang.
Sedangkan di waktu gelap, mereka mewaspadai ancaman komplotan perampok yang ingin merampas persenjataan. ‘’Pemimpin kawanan rampok namanya Kairun,’’ ingatnya.
Setahun TGP berada di markas pengungsian. Selama itu pula Soenardi anggota TGP lainnya bertahan hidup.
Kabar baik datang sekitar 1949. Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) mewajibkan Belanda menarik diri dari Indonesia air.
Tak urung, laskar-laskar belia itu bergegas kembali ke Madiun. ‘’Setelah itu, kami dipanggil ke Surabaya,’’ terang Soenardi.
Sejumlah prajurit bertolak ke Surabaya untuk memenuhi panggilan pembubaran TGP. Mereka lantas diberi pilihan untuk bergabung dengan TNI atau melanjutkan pendidikan.
Soenardi memilih meneruskan sekolahnya. Dia meniti karir sebagai guru hingga menjabat kepala SDN Nglanduk sebelum pensiun. ‘’Alhamdulillah dapat apresiasi dari pemerintah,’’ syukurnya.
Menikmati masa tua, Soenardi hidup bahagia bersama istrinya, Sutjiati. Hiasan rumahnya masih kental dengan nuansa patriotisme.
Lambang berupa pena dan senapan yang menyilang di dalam roda besi, tertempel kuat di dinding ruang tamu.
Merah putih bertiang bambu kuning berkibar di terasnya. Di rumah sederhana itu, Soenardi membesarkan 13 anaknya. ‘’Kalau cucu, saya tidak hafal berapa jumlahnya,’’ ujar Soenardi terkekeh. ***(hw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangeran Diponegoro Kirim Kiai Nursalim yang tak Mempan Ditembak
Redaktur & Reporter : Soetomo