Pandemi COVID-19 telah membuat banyak orang mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan pekerjaan serta prioritas dalam berbelanja.

Ada yang ingin kembali ke "normalitas" bekerja seperti saat pra-pandemi. Ada pula yang merasa bekerja dari rumah lebih bebas dan ingin mempertahankannya.

BACA JUGA: 75 Pegawai Kena Covid, MK Tunda Persidangan Pengujian Undang-undang

Yang lain lagi, misalnya petugas kesehatan yang diterpa kelelahan setelah dua tahun menghadapi pandemi, memunculkan "gerakan anti-kerja". Mereka menolak gagasan tentang pekerjaan yang dibayar sebagai cara untuk mengatur tenaga kerja yang diperlukan.

Tapi ada juga reaksi yang tidak seradikal itu, yakni ide empat hari kerja dalam seminggu. Semakin banyak perusahaan — biasanya di bidang teknologi atau layanan profesional — kini menerima ide tersebut.

BACA JUGA: Ribuan Warga Banjarmasin Terpapar Covid-19, Machli Sampaikan Pesan Penting

Bukan bertujuan mengakhiri sistem pekerjaan berbayar, kerja empat hari seminggu masih memungkinkan dari perspektif ekonomi. Tapi jika ada risikonya, berapa besar biaya produksi yang hilang dan akankah upah jadi lebih rendah? Asal-mula kerja lima hari seminggu

Pada tahun 1856, para tukang batu di Kota Melbourne menjadi pekerja pertama di dunia yang berhasil memiliki waktu kerja delapan jam sehari.

BACA JUGA: Perintah Terbaru Kapolri Jenderal Listyo ke Jajaran: Segera Lakukan Evaluasi

Keberhasilan itu masih terus diperingati sebagai hari libur di sebagian besar wilayah Australia.

Butuh hampir satu abad sebelum aturan kerja delapan jam sehari dan menjadi norma, dan kerja enam hari seminggu berhasil dikurangi. Namun akhirnya, pada tahun 1948, Pengadilan Arbitrase Persemakmuran menyetujui 40 jam, lima hari kerja dalam seminggu untuk semua warga Australia.

Bekerja lima hari seminggu menghadirkan anugerah besar berupa akhir pekan. Produktivitas pun secara berkala dan stabil meningkat, seiring dengan peningkatan standar hidup.

Bertambahnya kesejahteraan pekerja berlanjut selama beberapa dekade berikutnya.

Pada tahun 1945 pekerja Australia diberikan cuti tahunan selama dua minggu. Kemudian diperpanjang menjadi tiga minggu pada tahun 1963, lalu empat minggu dalam setahun sejak 1974.

Cuti sakit, cuti dinas panjang, dan peningkatan jumlah hari libur semuanya terus mengurangi jumlah jam kerja per tahun.

Namun hari kerja dalam seminggu tetap saja lima hari.

Pada tahun 1988, Komisi Konsiliasi dan Arbitrase membuka jalan waktu minggu kerja dipotong dari 40 jam menjadi 38 jam seminggu.

Pekerja dari industri seperti konstruksi dapat menegosiasikan jam kerja yang sedikit lebih pendek — 36 jam seminggu — memungkinkan kerja sembilan hari dalam dua minggu (dengan bekerja delapan jam sehari).

Jadi, meskipun mereka masih melakukan jam kerja harian yang sama seperti di abad ke-19, mereka bekerja sekitar sepertiga hari lebih sedikit dalam setahun.

Semua kemajuan ini terhenti dengan era reformasi ekonomi mikro (sering disebut neoliberalisme) yang dimulai pada 1980-an.

Tidak ada pengurangan jam kerja standar yang signifikan  sejak saat itu.

Jumlah jam kerja sebenarnya telah surut dan mengalir sesuai dengan keadaan pasar tenaga kerja, tetapi tanpa tren yang jelas.

Pengusaha secara konsisten menyukai jam kerja yang lebih lama untuk tenaga kerja penuh waktu, sementara pekerja dan serikat pekerja telah mendorong keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik. Hitungan untung-ruginya

Sejumlah pekerja sudah bekerja selama sembilan hari dalam dua minggu.  (Tidak ada angka pasti berapa jumlahnya, tapi data Biro Statistik Australia menunjukkan jumlahnya kurang dari 10 persen dari angkatan kerja.)

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengurangan jam kerja, jika diterapkan dengan benar, dapat diimbangi dengan peningkatan output per jam.

Uji coba skala besar di Islandia yang mengurangi jam kerja mingguan dari 40 menjadi 36 jam, misalnya, tidak menemukan penurunan produktivitas.

Namun, terlepas dari beberapa klaim optimis, tidak ada bukti juga untuk menunjukkan tidak akan terjadi pengurangan output dalam semua keadaan.

Dugaan yang masuk akal adalah bahwa pengurangan jam kerja sebesar 10 persen dapat mengakibatkan pengurangan 5 persen dalam output.

Jika biaya ini dibagi rata antara pemberi kerja dan pekerja, pekerja harus mengorbankan kenaikan upah sebesar 2,5 persen. Ini akan tercapai antara dua dan lima tahun pertumbuhan upah riil berdasarkan preseden yang terjadi di Australia.

Biaya untuk majikan akan mengurangi keuntungan mereka. Namun selama 20 hingga 30 tahun terakhir, bagian pendapatan nasional yang diberikan kepada pemilik modal sebagai keuntungan (bukan untuk tenaga kerja sebagai upah dan gaji) telah meningkat pesat. Biaya ini hanya sebagian kecil dari keuntungan tersebut. Menjalani transisi

Bagi kebanyakan orang Australia yang bekerja penuh waktu — lebih dari tujuh jam sehari, Senin sampai Jumat — beralih ke sistem empat hari kerja seminggu dapat terjadi dalam dua tahap.

Tahap pertama akan digeser ke sistem kerja sembilan hari dalam dua minggu tanpa perubahan total jam kerja mingguan. Jadi rata-rata jam kerja akan meningkat 50 menit dalam sehari (dari tujuh jam 36 menit menjadi delapan jam 26 menit).

Tahap kedua adalah beralih ke sistem empat hari kerja dalam seminggu dengan jam kerja delapan jam sehari (32 jam kerja seminggu).

Banyak pertanyaan lebih lanjut yang masih perlu dijawab.

Haruskah kita memilih untuk memperpanjang akhir pekan menjadi tiga hari? Atau tetap bekerja lima hari seminggu dan meminta pekerja yang berbeda mengambil hari libur yang berbeda?

Haruskah sekolah terus beroperasi lima hari seminggu? Bagaimana bila pekerja terus bekerja dari rumah?Apakah akan ada lebih banyak tekanan daripada yang sudah ada untuk menangani tuntutan terkait pekerjaan pada hari libur?

Masalah-masalah ini, dan lainnya, memang memperumit peralihan ke sistem empat hari kerja seminggu. Tapi semuanya tidak dapat diatasi.

Pertanyaan sebenarnya, 70 tahun sejak adanya libur akhir pekan, adalah apakah kita siap mengorbankan sebagian dari peningkatan produktivitas untuk kehidupan dengan waktu luang untuk keluarga, teman, dan hiburan.

Atau apakah kita ingin terus bekerja sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak dan tinggal di rumah yang lebih besar dengan barang-barang yang kita beli untuk membuat diri kita merasa lebih baik?

Banyak bukti menunjukkan bahwa pengalaman memberikan kita lebih banyak kebahagiaan daripada barang materi.

Tapi pengalaman membutuhkan waktu dan juga uang. Bekerja empat hari dalam seminggu akan menjadi salah satu cara untuk mendapatkan waktu tersebut.

John Quiggin adalah profesor pada School of Economics, University of Queensland. Artikel ini diterbitkan pertama kali di The Conversation.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspada, Angka Kematian Ibu di Daerah ini Tinggi

Berita Terkait