jpnn.com, JAKARTA - Saksi Ahli Hukum Keuangan Negara Siswo Suryanto menyebutkan bahwa kerugian negara harus bersifat nyata dalam bentuk uangnya.
Hal itu dijelaskan Siswo kepada hakim ketua dalam sidang lanjutan dugaan kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis, Kamis (7/11).
BACA JUGA: Kasus Timah Harvey Moeis, Ahli Sebut Harta Sitaan Bisa Dikembalikan, Asal...
"Mengenai Putusan MK, dalam Undang-Undang Tipikor ya, bahwa potensi kan sudah dihilangkan. Bagaimana pendapat ahli bahwa kerugian negara itu harus real dan nyata," tanya hakim kepada Siswo.
"Dalam Hukum Keuangan Negara yang dianut di kita itu dinyatakan bahwa kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti," jawab Siswo.
BACA JUGA: Sandra Dewi Jelaskan Uang Rp 3,15 M dari Harvey Moeis, Oh Ternyata
Siswo juga menerangkan, kerugian negara yang dimaksud nyata dan pasti adalah uangnya terlihat dan dapat diukur nilainya, serta tidak boleh ada asumsi.
"Nyata itu artinya ada uangnya, jadi tidak boleh diasumsikan. Kemudian pasti itu terukur," lanjut Siswo.
BACA JUGA: Soal Barang Sitaan dalam Kasus Harvey Moeis, Ahli TPPU Bilang Begini
Selain itu, Siswo juga menjelaskan mengenai kerugian perekonomian negara.
Menurut dia, kerugian negara yang sebenarnya adalah keuangan negara yang seharusnya masuk tetapi tidak masuk.
"Kerugian perekonomian negara, coba pengertian ahli bagaimana untuk yang kerugian perekonomian negara?” tanya hakim.
"Jadi, sebenarnya kerugian perekonomian itu merupakan satu langkah setelah terjadinya kerugian keuangan negara," jawab Siswo.
Dalam penjelasannya, Siswo memberikan gambaran penyeludupan kapal yang melewati batas tetapi tidak membayar bea masuk. Bea masuk tersebut yang menjadi kerugian negara sebenarnya.
"Ketika ditanya berapa kerugian keuangan negara, kerugian negara sebenarnya sebesar bea masuk yang tidak dibayar. Jadi, katakanlah harusnya dibayar bea masuknya Rp 100 miliar tidak dibayar, Itu adalah kerugian keuangan negara. Uang yang seharusnya masuk, tetapi tidak masuk," jelas Siswo.
Sementara itu, kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan sejak 2015-2022 sebesar Rp 271 triliun diumumkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.
"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2) lalu.
Menurut perhitungan dari Bambang, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan senilai Rp 233,26 triliun, hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan hidup (ekologis) Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 triliun dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun.
Kemudian, kerugian lingkungan hidup untuk galian yang terdapat dalam non kawasan hutan senilai Rp 47,70 triliun, hal tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 6,63 triliun.
Selain itu, terdapat juga kerugian negara lainnya atas kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 2,28 triliun, pembayaran kerja sama penyewaan alat processing pelogaman timah oleh PT Timah Tbk ke lima smelter swasta sebesar Rp 3 triliun, HPP smelter PT Timah Tbk sebesar Rp 738 miliar, dan Kerugian Negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal Rp 26,6 triliun. (mcr4/jpnn)
Redaktur : Natalia
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi