Bernadete Deram (kanan) dan Kandida Abon kini masih mengungsi di rumah keluarga akibat bencana banjir di NTT yang menimpa mereka. (Supplied: Bernadete Deram)
Bernadete Deram, akrab disapa Dete, sedang tidak di rumah ketika air banjir bandang mulai merendam rumahnya di Adonara, yang terletak di sebelah timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Di hari Minggu pertama di bulan April itu (05/04), Dete sedang membantu warga setempat yang menjadi korban banjir bandang.
BACA JUGA: Mahkamah Agung Australia Tolak Argumentasi Terdakwa Teroris Soal Kedudukan Hukum Suami-Istri
Sudah 20 tahun rumahnya menjadi pusat kegiatan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di NTT.
"Ketika sampai di depan, masuk halaman PEKKA itu saya histeris, di situ, reflek, saya tidak bisa lagi membendung teriakan kemarahan, kekecewaan," kata Dete.
Di rumah itulah para perempuan yang ditinggalkan oleh suami mereka dan harus menjadi tulang punggung keluarga diajarkan untuk menenun serta dibekali ilmu kepemimpinan hingga pertanian.
Rumah itu juga terbuka bagi warga yang ingin latihan membaca dan menulis, serta anak muda yang ingin belajar menanami tanah di belakang rumah mereka.
BACA JUGA: Muslim dan Non-Muslim di Australia Rayakan Awal Ramadan dengan Semangat Keterbukaan
Namun, air banjir telah menyapu habis rumah hasil kerja keras Dete, yang ia bangun dengan "mengumpulkan sedikit demi sedikit rupiah".
Sebanyak 178 warga dilaporkan meninggal dunia dan 47 masih dalam pencarian akibat bencana banjir bandang yang terjadi di kawasan Nusa Tenggara Timur dan Barat.
Ratusan ribu rumah warga dan fasilitas umum di NTT rusak, sementara laporan di media menyebutkan ada hampir 34.000 korban yang terpaksa tinggal di tempat penampungan.
"Awalnya saya merasa bahwa kerja keras saya selama 20 tahun untuk membangun sebuah rumah sederhana seperti itu untuk bisa berpikir, beristirahat dengan santai, bisa berkumpul dengan keluarga ... nonton bersama, makan apa yang bisa kami makan, itu sirna dalam waktu sekejap," renungnya.
"Dalam waktu beberapa menit saja."
Akibatnya, harta benda berupa arsip komputer, pakaian dan benda lainnya tidak lagi bisa terselamatkan.
Sementara itu, Kandida Abon yang tinggal bersama Dete menyaksikan dan mengalami sendiri saat-saat ketika banjir mulai menerpa rumahnya.
Kandida yang akrab disapa Dida tidak mampu menyembunyikan rasa trauma dan sedihnya ketika menceritakan pada ABC Indonesia, bagaimana ia sempat harus berpegangan pada salah satu pilar di rumah tersebut saat diterpa banjir.
"Kalau ada kayu, [atau] apa [yang mendorong kami], kami semua sudah tidak ada itu," kata Dida, yang tinggal bersama Dete karena rumahnya hilang pada saat erupsi Merapi November 2020 lalu.
Di satu titik, ia bahkan sempat meminta suaminya untuk memohon pertolongan para leluhur.
"Kau teriak leluhur punya nama, minta tolong, bantu kita!" ujarnya kepada sang suami kala itu.
Kini mengungsi di rumah keluarganya, Dete dan Dida mengandalkan makanan hasil kebun jagung mereka yang tersisa dan berharap mendapatkan lebih banyak sumbangan pakaian dari tetangga mereka.
Rencana untuk melakukan relokasi bagi warga NTT sudah dibicarakan oleh Bupati kepada warga di tempat pengungsian termasuk Dete, karena "kampung itu tidak aman lagi dihuni". 'Panggilan nurani' warga Indonesia di Australia
Sejauh 1.724 kilometer dari Nusa Tenggara Timur, warga Indonesia di Australia Utara turut berempati setelah menyaksikan video dan foto bencana alam yang menimpa provinsi tersebut.
Penggalangan dana pun dilakukan oleh beberapa organisasi komunitas Indonesia di negara bagian lainnya, seperti Indonesian Diaspora Network NT dan Nusantara Foundation untuk warga NTT dan NTB yang akan disalurkan kepada PMI dan BNPB setempat.
Dominic Witono, presiden dari Indonesian Diaspora Network NT, merasa ada "panggilan nurani" saat menyaksikan penderitaan warga NTT akibat Siklon Seroja dan memutuskan untuk mengajukan ide penggalangan dana.
Menurutnya, hampir 50 persen warga Indonesia di komunitas Australia Utaranya berasal dari Kupang dan telah terdampak bencana.
Hingga hari ini (14/04) sekitar A$7,000 (Rp78,2 juta) yang sudah terkumpul dan akan segera didiskusikan mekanisme penyumbangannya.
Sumbangan tersebut tidak hanya diberikan oleh warga Indonesia, namun juga dari yang berkebangsaan lain, seperti Australia dan Timor Leste.
"Di mana-mana kalau ada kesusahan, kita juga dibantu oleh orang lain, jadi setidaknya bisa meringankan beban mereka, istilahnya kecil sifatnya tapi kalau yang kecil itu kita lakukan bersama, akan jadi besar juga," kata Dominic.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Indonesian Community Council (ICC) New South Wales yang hingga kini sudah mengumpulkan uang sebesar A$4,981 (Rp55 juta) dari penggalangan dana yang masih berlangsung.
Julie Umboh, ketua ICC NSW, mengatakan penggalangan dana ini dilakukan oleh mereka sebagai "bentuk kepedulian dengan saudara-saudara di Indonesia".
"Apalagi salah satu anggota ICC adalah [dari] Flobamora di mana saudara-saudara kita di sana sebagian besar menjadi korban," ujarnya. Siklon Seroja juga menghantam Australia Barat
Siklon tropis Seroja juga telah menghantam kota kecil Kalbarri di Australia Barat, yang dikenal sebagai tempat berlibur.
Warga Kalbarri masih menghitung dampak kerusakan dan kerugian.
Diperkirakan beberapa dari mereka terancam kehilangan tempat tinggalnya atau membutuhkan waktu dua bulan untuk membangunnya kembali, karena kekurangan material dan pekerja.
Sekitar 70 persen dari gedung-gedung yang ada di Kalbarri rusak oleh hantaman angin dengan kecepatan angin sempat mencapai 170 kilomter per jam.
Rod Messina adalah salah satu petani yang kehilangan rumah, 13 gudang, tempat penyimpanan air karena Siklon Seroja.
Meski ia memiliki asuransi, tapi masih belum diketahui pasti kapan properti miliknya akan bisa diperbaiki.
"Pihak asuransi kami mengatakan tak ada masalah untuk melakukan klaim, tapi masalah besarnya adalah kapan semuanya bisa selesai," ujar Rod.
"Saya tidak tahu dari mana kita akan menemukan orang-orang yang bisa diperkerjakan untuk memperbaiki struktur bangunan."
Warga lainnya yang terdampak oleh Siklon Seroja adalah David Reade-Evans.
Saat kejadian ia berada di rumah ibunya dengan tiba-tiba atap yang terbawa angin kencang dan kaca-kaca pecah.
Bahkan pecahannya jatuh ke dadanya.
"Untuk dijelaskan dalam kata-kata, sangat menakutkan," ujarnya.
"Bunyinya seperti rumah digilas dengan truk," kata David.
Saat siklon menerjang rumah ibunya, David mengatakan ada delapan orang yang berada di dalam, termasuk dua keluarga yang menyewa dari Airbnb.
"Kami berharap perusahaan asuransi akan membantu kami."
"Kami ingin membangunnya kembali. Ini adalah rumah ibu saya dan ia ingin sekali memperbaikinya," jelas David.
"Tapi saya tak tahu berapa lama kita akan menunggu untuk bisa memperbaikinya."
Laporan tambahan dari artikel
Ikuti berita seputar komunitas Indonesia di Australia dan lainnya di
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Menteri Pertahanan Australia Bicara Kemungkinan Perang Versus Tiongkok, Mengkhawatirkan