jpnn.com, JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) terus menuai penolakan.
Perppu itu dinilai menjadi alat pemerintah secara sepihak membubarkan ormas yang dianggap anti-Pancasila.
BACA JUGA: Satu-Satu, HTI Lebih Dahulu
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, mestinya pembubaran ormas anti-Pancasila bisa dilakukan dengan mekanisme hukum yang benar dan adil.
Apalagi Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (maachtstaat).
BACA JUGA: HTI Dibubarkan, Begini Respons Zulkifli Hasan
"Kalau memang kita tidak setuju dengan ormas yang anti-Pancasila, saya lebih mendukung due process of law. Nah, di Undang-Undang yang lama (UU Nomor 17/2013 tentang Ormas, red) sebenarnya sudah diatur, hanya memang hal itu membutuhkan proses," kata Refly Harun, dalam tayangan ILC tadi malam (18/7).
Di UU yang lama, sebelum pembubaran, ada proses-proses yang harus dilalui. Proses itu mulai dari langkah persuasif, peringatan 1, 2, 3. Lalu penghentian dana hibah atau bantuan dan pelarangan kegiatan.
BACA JUGA: Resmi, Pemerintah Akhiri HTI
"Ini ada proses yang fair, ada proses mendengarkan pihak-pihak yang terlibat , nah di Perppu baru ini memang tidak ada. Baru setelah dibubarkan, disuruh berproses ke pengadilan, ini jadi persoalan," sambungnya.
Karenanya, dirinya termasuk yang menyarankan dalam pembubaran ormas yang dinilai berseberangan dengan Pancasila tetap dengan mengedepankan due process of law atau proses hukum yang baik, benar dan adil. Aturan soal ini sebenarnya sudah ada di UU Nomor 17 tahun 2013.
"Nah kalau dianggap terlalu lama ya dipersingkat saja dalam RUU yang baru. Tidak perlu mengeluarkan Perppu," pungkasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Ajak Ulama Cegah Gejolak Sikapi Perppu Ormas
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad