jpnn.com, JAKARTA - Pertemuan antara ketua umum PBNU Said Aqil Siroj dan ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pada Jumat 23 Maret 2018, menarik perhatian publik dan para elit politik.
Pertemuan itu dinilai penting sebagai upaya penyelamatan bangsa dari ancaman perpecahan. Pada waktu yang sama silaturrahmi itu mendorong percepatan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
BACA JUGA: NU Minta Pemerintah Terus Sejahterakan Petani
Direktur Said Aqil Siroj Institute (SAS Institute) M. Imdadun Rahmat mengatakan, optimisme umat muslim dan rakyat Indonesia perlu terus dibangkitkan. Para tokoh, seharusnya tidak justru menyebarkan putus asa sosial yang akan memberi angin pada potensi konflik dan perpecahan.
Imdadun memaparkan bahwa pertemuan antar tokoh semacam ini perlu terus dilakukan. Konsolidasi kebangsaan semakin penting mengingat data dari berbagai survei menununjukkan fakta adanya penurunan rasa dan komitmen kebangsaan, termasuk generasi muda.
BACA JUGA: MUI Menghormati Keputusan Muhammadiyah
Adanya beberapa pihak yang mengkampanyekan bubarnya Indonesia untuk diganti sistem Khilafah membuat persoalan ini semakin nyata.
"Kalau kondisi ini dikipas dengan pernyataan tokoh penting. Ini berbahaya" Imdadun, Senin (26/3).
BACA JUGA: Berpotensi Kompak, Lebaran 15 Juni
Menurutnya, silaturrahmi antara NU dan Muhammadiyah seyogyanya ditindaklanjuti dengan melibatkan seluruh ormas Islam yang lain. Tak kalah penting melibatkan ormas-ormas agama lain.
Praktik beragama yang kompatibel dengan konteks Indonesia, sambungnya, baik Islam Nusantara ala NU dan Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah perlu disebarluaskan agar menjadi acuan umat Islam.
Dengan demikian Islam yang moderat, progresif, damai dan toleran akan menjadi arus utama. Namun, untuk tetap rukun dan bersatu diperlukan rasa keadilan masyarakat dan kemakmuran. Agenda pemerataan aset ekonomi sangatlah penting.
Imdadun menilai, penegasan pentingnya keseimbangan antara komitmen pada agama dan bangsa oleh Said Aqil Siroj perlu terus digemakan. Sebab, menurutnya, banyak pihak yang mempertentangkan antara perjuangan agama dan perjuangan bangsa.
"Sebagaimana dalam pidato Kiai Said, bahwa perjuangan Islam memerlukan teritori yang aman dan damai. Maka tanah air harus diperjuangkan lebih dulu. Baru setelahnya kita bisa berjuang demi agama. Tanah air Indonesia adalah warisan para Ulama dalam perjuangan kemerdekaan" papar Imdadun.
Dirinya kembali menegaskan, bahwa tafsiran perjuangan atas tanah air juga sejalan dengan apa yang sudah dilakukan presiden Jokowi.
Mengurangi kesenjangan kaya-miskin, kota-desa, Jawa-luar Jawa telah diupayakan. Sebagai contoh pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil dan sertifikasi tanah untuk rakyat.
Dalam kesempatan yang berbeda, International NGO Forum on Indonesia (INFID) Sugeng Bahagijo Direktur melihat pertemuan itu sebagai wujud nyata dukungan moral dan sosial kepada pemerintah Jokowi untuk memastikan pembangunan dan pemerataan aset sosial ekonomi.
Sugeng memaknai, konsep redistribusi aset yang dipaparkan Haedar Nashir bisa menjadi solusi atas masalah ketimpangan sosial ekonomi.
Bagi dirinya sertifikasi lahan rakyat oleh pemerintah adalah satu kemajuan, serta signifikan di Indonesia. NU dan Muhammadiyah bisa menjadi garda terdepan dalam menjawab problem ketimpangan di akar rumput.
"NU dan Muhammadiyah adalah aset paling berharga Indonesia. Saya yakin dengan pengaruh kekuatan moral NU-Muhammadiyah bersama mampu mengajak semua rakyat dan segenap pihak untuk memecahkan problem kemiskinan dan ketimpangan" tutup Sugeng Bahagijo. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gandeng Said Aqil, Jokowi Bakal Sempurna di Pilpres
Redaktur & Reporter : Adil