Simak, Catatan Kritis Andy Soebjakto terhadap PMK Tarif Layanan Sertifikasi Halal

Kamis, 17 Juni 2021 – 08:45 WIB
Ketua Dewan Pengurus Halal Institute Andy Soebjakto Molanggato. Foto: dok Halal Institute

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan PMK Nomor 57/PMK.05/2021 tentang tarif layanan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI, tertanggal 3 Juni 2021.

Ketua Dewan Pengurus Halal Institute Andy Soebjakto Molanggato mengatakan, jika dihitung dari kick off layanan sertifikasi halal berdasarkan UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yakni pada 17 Oktober 2019, maka PMK tentang tarif layanan sertifikasi halal ini dapat dikatakan telah terlambat 19 bulan.

BACA JUGA: Ada Cuan di Balik Pengembangan Kawasan Industri Halal

“Meninjau pada isi dari PMK tersebut, terutama pada lampiran yang memuat daftar atau list tarif layanan sertifikasi halal terlihat lebih simpel dari yang dibayangkan oleh para pelaku usaha sebelumnya,” ujar Andy dalam keterangannya, Rabu (16/6).

Daftar itu memuat hanya lima jenis tarif layanan, yakni layanan sertifikasi halal untuk barang dan jasa sebesar Rp 300 ribu hingga Rp5 juta, tarif akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebesar Rp2,5 juta hingga Rp17,5 juta.

BACA JUGA: Indonesia Berpeluang Jadi Eksportir Produk Halal Terbesar Dunia

Tarif registrasi auditor halal sebesar Rp300 ribu per orang, tarif pelatihan auditor halal dan penyelia halal sebesar Rp1,6 juta hingga Rp3,8 juta per orang, dan tarif sertifikasi kompetensi auditor halal dan penyelia halal sebesar Rp 1,8 juta hingga Rp3,5 juta per orang.

“Sekilas nampak bahwa tarif layanan sertifikasi halal berlaku flat dengan batas maksimal Rp5 juta per sertifikat. Dengan kriteria tersebut, pelaku usaha besar dengan omzet minimal Rp 50 miliar per tahun dapat dikenai biaya paling besar 150 persen dari tarif maksimal tersebut yakni Rp 7,5 juta,” terang Andy.

BACA JUGA: Sembari Menahan Tangis, Bu Nunik Honorer K2 Menyampaikan Aspirasi di Senayan

Perusahaan semacam Aqua dan Indomie maksimal dikenai tarif sebesar itu, terkecuali ada penambahan varian atau jenis produk. Perusahaan kelas menengah dengan omzet Rp15 miliar hingga Rp50 miliar dikenai tarif beberapa juta lebih murah dari tarif tertinggi.

Dengan demikian, lanjutnya, kebijakan tarif ini tidak memberatkan, terutama bagi pelaku usaha besar dan menengah.

Sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker (UU CK), PMK ini menetapkan tarif nol rupiah bagi layanan sertifikasi halal, perpanjangan sertifikat halal, dan penambahan varian atau jenis produk bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

“Dengan demikian kebijakan baru ini dapat dikatakan sangat mendukung, membantu, dan memfasilitasi pelaku UMK. Ini bertentangan dengan dugaan dan tudingan beberapa kalangan selama ini yang menilai pewajiban sertifikasi halal akan makin menyulitkan pelaku UMK,” ujar Andy.

Meskipun begitu, yang harus dicermati adalah frasa “dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara”, dapat dimaknai tidak semua pelaku UMK langsung dapat menikmati fasilitas ini.

Kemampuan keuangan negara di sini bukan hanya APBN, tetapi juga dapat berasal dari APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, dana kemitraan, hibah pemerintah, dana bergulir, atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Masalahnya adalah jumlah pelaku UMK yang mendapatkan fasilitas nol rupiah, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2018-2019 adalah sebesar 65.400.031 unit atau sekitar 99,89 persen dari total pelaku usaha di Indonesia. Dapat lebih tinggi lagi setelah kriteria PP No.7 Tahun 2021 diterapkan.

Sedangkan jumlah pelaku usaha menengah sebesar 65.465 unit (dapat lebih kecil berdasar PP No.7 Tahun 2021), dan pelaku usaha besar 5.637 unit usaha. Dengan demikian, pasar sertifikasi halal reguler adalah sebesar-besarnya 70.000 unit usaha. Sedangkan 65 juta unit usaha mendapatkan fasilitas 0 rupiah.

“Bagaimana melaksanakan fasilitasi untuk 65 juta unit usaha ini, yang dapat dipahami mengapa muncul frasa “dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara”,” ujar Andy.

Nampaknya, kata Andy, pelaku UMK harus rajin-rajin menuntut haknya untuk mendapatkan fasilitas layanan sertifikasi halal 0 rupiah. Sementara pada saat yang sama pelaku usaha besar hanya terkena tarif ringan yang flat. Dari mana negara memaksimalkan kemampuan keuangannya untuk memenuhi tuntutan pelaku UMK?

“Berbalik dari situasi yang digambarkan di atas, persoalan sertifkasi halal ini lebih memberatkan negara dibanding memberatkan pelaku UMK,” kata Andy.

Dapat menjadi bom waktu bila tidak dikelola dengan baik, sementara pemerintah terikat pada kewajiban melaksanakan UUJPH dan UU CK.

Mengacu pada kebijakan pemerintah untuk mendorong proses upscaling pelaku UMK agar dapat naik kelas, salah satunya melalui sertifikasi halal, pemerintah, cq BPJPH, wajib memaksimalkan kemampuannya memberikan fasilitas bagi UMK dalam kerangka upscaling, bukan dalam kerangka sebatas perlindungan dan belas kasih negara.

UMK yang naik kelas pada gilirannya akan menuju sertifikasi reguler, dengan demikian beban pemerintah juga akan semakin berkurang.

Dari daftar tarif layanan sertifikasi halal di PMK, hanya tarif yang berkaitan langsung dengan BPJPH yang diatur, sedangkan tarif yang dapat timbul dari pelayanan lain, misalnya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dan tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI tidak disebutkan dalam daftar.

Andy mengatakan, untuk tarif pemeriksaan halal oleh LPH telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) PMK, mengacu pada biaya yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH.

Sangat mungkin penetapan Kepala BPJPH tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH akan berbentuk rangetarif terbawah hingga paling tinggi.

“Hal yang harus diamati bersama adalah jangan sampai tarif pemeriksaan halal ini jauh lebih tinggi dibanding tarif lainnya.”

Dari daftar tarif layanan sertifikasi halal di PMK, hanya tarif yang berkaitan langsung dengan BPJPH yang diatur, sedangkan tarif yang dapat timbul dari pelayanan lain, misalnya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dan tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI tidak disebutkan dalam daftar.

Hal lain yang lebih menarik, lanjutnya, adalah PMK ini tidak memberi sedikit pun arahan mengenai tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI.

Ini berbeda dari ketentuan tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH. Dalam hal fatwa ini, Kepala BPJPH tidak memiliki pijakan hukum untuk menetapkan biaya sidang fatwa tersendiri.

“Apakah pemerintah meninggalkan MUI dalam persoalan tarif sertifikasi halal ini? Kemungkinan besar hal ini disebabkan karena persoalan tarif fatwa dapat menjadi masalah yang sumir untuk dinyatakan dalam PMK, meskipun semua orang paham bahwa fasilitasi (honor) untuk sidang fatwa MUI adalah hal yang wajar. Apalagi keberadaan MUI dinyatakan jelas dalam UU,” urainya.

Salah satu opsi jalan keluar dari permasalahan ini adalah memasukkan honorarium/biaya sidang fatwa MUI ke dalam tarif pemeriksaan halal oleh LPH, yang berarti bergantung pada LPH dan dapat menimbulkan risiko mengurangi independensi MUI dalam menetapkan fatwa kehalalan produk. (esy/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler