Simak, Komentar Drajad Terkait Relaksasi dan PMI Manufaktur Menurun

Minggu, 04 Agustus 2024 – 17:46 WIB
Doumentasi - Pemerintah melalui Bea Cukai terus berupayakan percepatan pengeluaran 26.514 kontainer yang tertahan di pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Foto: dok Bea Cukai

jpnn.com - JAKARTA - Ekonom senior Dradjad Wibowo mengomentari kebijakan relaksasi impor yang diambil pemerintah dan kaitannya bagi industri dalam negeri atau Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur yang masuk zona kontraksi (menurun).

Dia menilai, di satu sisi relaksasi membuat sebagian pelaku industri di dalam negeri kesulitan untuk bersaing.

BACA JUGA: 11 Manfaat Minum Teh yang Luar Biasa, Lindungi Tubuh dari Penyakit Ini

Namun, menyalahkan relaksasi impor di sisi lain juga tidak menyelesaikan masalah. Karena tanpa relaksasi keberadaan kontainer di pelabuhan makin menumpuk.

"Ini masalah yang dilematis. Tanpa relaksasi impor kontainer akan menumpuk di gudang pelabuhan. Lalu lintas barang tersendat, inflasi naik. Rakyat sebagai konsumen dirugikan,” ujar Dradjad, Jumat (2/8).

BACA JUGA: Hendri Satrio: Bahlil, Agus Gumiwang, Bamsoet Bukan Levelnya Airlangga

Ekonom senior INDEF ini menilai pemerintah seharusnya bersama-sama mendisain kebijakan, sehingga antara pengembangan industri dalam negeri, perdagangan luar negeri, serta kepabeanan dan cukai dapat sejalan dan optimal.

Dia mencontohkan terkait regulasi impor, penting sejalan dengan konsumen dan produsen domestik sekaligus.

BACA JUGA: Luar Biasa! Pertamina Menjadi BUMN Kontributor TKDN Terbesar di 2023

“Saya kira bea masuk antidumping bisa dilakukan untuk komoditi dengan kode HS tertentu. Apakah ada solusi teknis terhadap backlog di pelabuhan. Apakah solusi agar industri domestik lebih bersaing dan tidak hanya mengharapkan proteksi berlebihan,” ucapnya.

Drajad menilai membongkar ekonomi biaya tinggi dalam proses industri lebih besar manfaatnya dalam jangka menengah dan panjang dibanding buka tutup relaksasi dan restriksi impor.

Sementara itu Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya menyebut kontraksi PMI Manufaktur RI terjadi karena dipengaruhi penurunan bersamaan pada output dan pesanan baru.

Menurutnya, kontraksi baru pertama kali terjadi sejak Agustus 2021 atau setelah 34 bulan berturut-turut terus ekspansi. Penyebab utamanya permintaan pasar yang menurun.

Data S&P Global memperlihatkan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia Juli 2024 turun ke level 49,3 atau terkontraksi.

Pada Juni 2024, PMI Manufaktur Indonesia masih ekspansif di level 50,7.

Agus menyatakan tidak kaget dengan turunnya PMI manufaktur Indonesia sejak kebijakan relaksasi impor diberlakukan.

"Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini, karena ini semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan," ujar Agus. (gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menperin Agus Optimistis Target Industri Manufaktur Tumbuh 5,8 Persen Bisa Tercapai


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler