jpnn.com - SURABAYA - Menurut data Pengadilan Agama Surabaya, faktor cara pandang dan pendapatan antara suami dan istri menjadi faktor kuat penyebab ke retakan rumah tangga mereka.
Ya, di tahun 2015, ada 6.117 perkara perceraian yang masuk ke lembaga tersebut. 2.098 perkara di antaranya diajukan oleh pihak suami. Sedangkan jumlah istri yang menggugat mencapai 4.019.
BACA JUGA: Inilah Alasan Kenapa Wanita Karier "Suka" Jadi Janda
Dari jumlah perempuan yang mengajukan cerai, ternyata hampir 80 persen atau sebanyak 3.215 diajukan oleh wanita karier.
Radar Surabaya (JPNN Group) berhasil mewawancarai beberapa perempuan untuk menguatkan alasan tersebut.
BACA JUGA: ASTAGA... 3.215 Wanita Karier Pilih Menjanda!
Ken Zinda Rahma, 30, misalnya. Dalam gugatan cerainya, dia hanya mencantumkan penyebab suami yang tidak bertanggung jawab.
“Suami cuma ngasih gaji Rp 700 ribu. Sering marahmarah lagi. Saya bisa hidup sendiri tanpa dia,” kata wanita yang disapa Sindi tersebut.
BACA JUGA: Ssttt... Bu Lurah Ketahuan di Homestay Bareng Cowok Lain
Sindi pun merasa mampu menghidupi dirinya sendiri, karena kini dia sudah bekerja di salah satu perusahaan sebagai marketing.
Penghasilannya setiap bulan jauh lebih besar jika dibandingkan nafkah yang diberikan suaminya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk berpisah. Itupun dilakukan dengan entengnya.
Hal senada disampaikan Fitri Amelia, 41. Fitri yang bekerja sebagai guru, mengaku sudah memiliki PIL di tem pat kerjanya. Ia juga beralasan jika riak-riak di rumah tangganya muncul karena faktor ekonomi. Nafkah dari suaminya, lebih kecil dari yang ia harapkan. Makanya ia akhirnya memilih jalan pintas bercerai.
Fitri merasa tak butuh waktu panjang untuk berpikir bercerai, karena ia menganggap per ceraian adalah langkah terbaik. Sementara di tempatnya bekerja, ia juga sudah mendapatkan pria “baru” yang dianggapnya lebih mampu memenuhi keinginannya sekarang jika diban dingkan suaminya.
“Terbiasa ketemu (PIL, Red), ya akhirnya cerai saja. Kan sudah ada yang lebih baik,” tandas Fitri tanpa ada beban sama sekali.
Stereotipe kalau wanita, kini, menganggap sudah tak butuh pria, semakin banyak faktanya. Di PA, proses perceraian tampak biasa saja. Dulu perceraian dianggap sesuatu yang tabu, namun kini suasana proses per ceraian seakan dibuat santai. Wajah wajah mereka (terutama perempuan) tak terlihat sedih.
Mereka malah banyak yang terlihat bahagia. Perem puanperempuan itu juga tak malu lagi diwawancara. “Aduh, Mbak. Cerai itu sekarang hal biasa. Kalau memang sudah enggak cocok, ya lebih baik gitu (cerai, Red). Artis saja cerai banyak kok. Kan banyak itu contohnya di televisi. Tiap hari pasti ada berita artis cerai,” kata Ivana, samaran.
Ia juga wanita karir kandidat janda. Kini, bagi mereka perceraian tidak membuat dunia berakhir. Justru men jadi awal kehidupan baru yang sangat mereka inginkan.
Data laporan tahunan PA, juga me nyebutkan kalau perempuan yang mengajukan gugatan cerai berasal dari nyaris semua profesi. Mulai dari swasta, PNS, wirausaha maupun ibu rumah tangga. Untuk swasta didominasi oleh wanita yang bekerja sebagai karyawan perkantoran maupun pertokoan.
Misalnya, marketing, staf administrasi, konsultan, dokter, dosen, SPG dan lainnya. Untuk status PNS, mayoritas didominasi oleh guru dan pegawai di kecamatan dan kedinasan. Profesi polisi juga cukup mendominasi pada gugatan di PA.
Wakil Ketua Pengadilan Agama Klas 1A Surabaya Artifaturrahmaniyah menambahkan, perempuan yang menggugat cerai memang didominasi oleh wanita karir dibandingkan ibu rumah tangga atau tidak bekerja. Pada umumnya, wanita yang bekerja memiliki stereotipe bisa bertahan hidup tanpa bantuan pria.
Makanya, ketika ada persoalan dalam rumah tangga, misalnya kekerasan fisik maupun ekonomi, wanita pekerja cenderung cepat memutuskan gugatan cerai.
“Kalau ibu rumah tangga kan masih mikir, kalau pisah, siapa yang nanti menafkahi. Kalau yang bekerja kan sudah mandiri, bisa mencari sen diri,” jelas Arti. (*/opi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PARAH! Suami Selalu Teriak Minta Tolong Usai Bercinta sama Istri yang Seksi
Redaktur : Tim Redaksi