jpnn.com, JAKARTA - Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) merilis riset yang membuktikan pengendalian tembakau di Indonesia masih belum maksimal.
Hal ini terbukti dari korelasi jumlah perokok dan beban biaya kesehatan yang ditimbulkan dari tidak efektifnya pengendalian tembakau di Indonesia.
BACA JUGA: Dijamin Halal, MLA Hadirkan Keseruan Menikmati Daging Sapi Australia
Founder CISDI Diah Saminarsih mengatakan ada konsekuensi di level nasional ketika pengendalian tembakau tidak berjalan secara maksimal.
“Kita harus fokus untuk memprioritaskan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau. Selain itu pelayanan kesehatan primer dan mekanisme jaminan kesehatan nasional juga menjadi prioritas,” ujar Diah dalam Malam Peluncuran Studi Beban Biaya Kesehatan Akibat Rokok secara virtual di CISDI TV.
BACA JUGA: Daripada Revisi PP 109/12, Pemerintah Lebih Baik Membuat Road Map IHT
Direktur Tobbaconomics sekaligus Peneliti dari University of Illinois di Chicago Profesor Frank J. Chaloupka mengatakan secara global beban kesehatan akibat penggunaan rokok memang cukup tinggi.
Chaloupka juga menyoroti tentang sistem struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu penyebab tidak efektifnya pengendalian tembakau.
BACA JUGA: Kurangi Impor Methanol & Amankan Pasokan Gas, Pupuk Indonesia Jalin MoU dengan GOKPL
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem tarif cukai tembakau yang paling rumit dan kompleks di dunia, ini yang membuat kebijakan cukainya tidak pernah efektif dalam mengurangi tingkat konsumsi rokok,” katanya.
Itulah sebabnya, Chaloupka menyarankan agar Indonesia dapat mengadopsi sistem tarif cukai hasil tembakau yang komprehensif.
“Lakukan simplifikasi pada sistem tarif cukai hasil tembakau, dan satukan strukturnya,” katanya.
Pelaksana Tugas (Plt.) Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto dalam kesempatan yang sama mengatakan kurang terkendalinya konsumsi tembakau saat ini merupakan dampak dari konsumsi rokok dari tahun-tahun sebelumnya.
“Impact rokok biasanya dua dekade setelahnya, kalau sekarang sudah tinggi, next juga pasti lebih tinggi. Intervensi apa yang bisa dilakukan? Yang perlu kita lakukan pengendalian tembakau, mencoba membangun awareness bagi teman-teman, khususnya Kemenkeu agar lebih percaya diri mengambil kebijakan rokok," paparnya.
Ekonom UI ini juga mengatakan harus ada strategi jangka panjang maupun jangka pendek untuk membangun kesadaran mengenai pengendalian tembakau.
“Pengendalian tembakau itu bukan mitos, secara berkelanjutan bisa lebih baik,” kata Teguh.(chi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terkait Impor Gold Casting Bar, Akademisi Metalurgi Bilang Begini
Redaktur & Reporter : Yessy