jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan khususnya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam membuat kebijakan di bidang penarikan cukai khususnya cukai tembakau perlu melihat secara holistik atau komprehensif terkait perekonomian negara.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, Prof Dr Candra Fajri Ananda dalam diskusi ekonomi membahas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018, di Jakarta, Selasa (10/9) kemarin.
BACA JUGA: Penyederhanaan Cukai Tembakau Bisa Bikin Pendapatan Negara Turun
Bukan hanya dari sisi penerimaan untuk pemerintah pusat, tapi juga memperhatikan akibat turunannya apabila kebijakan tersebut diambil. Bukan hanya dari unsur kesehatan saja, tapi juga tingkat kesejahteraan masyarakat luas beserta pembangunan daerah.
Sistem penarikan cukai yang diterapkan pemerintah saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 156/ 2018 merupakan sistem yang ideal dan diterima seluruh pelaku ekonomi.
BACA JUGA: Getol Bela Petani Tembakau, Misbakhun Dukung Cukai Vape
“Saya pikir BKF perlu melihat ulang kebijakan (Simplifikasi) ini dengan melihat banyak aspek, tidak hanya pada industrinya saja tapi mulai dari hulunya, tenaga kerja, pendapatan asli daerah juga pemerintah daerah," kata Candra.
Terlebih, sekitar 70 persen pemerintah daerah sangat tergantung kepada pengiriman dari pemerintah pusat. Salah satunya dana bagi hasil cukai tembakau atau DBHCT.
BACA JUGA: Genjot UMi, Kementerian Keuangan Galakkan Digitalisasi
"Kalau sampai ada perubahan kebijakan di bidang penarikan cukai, akan terjadi penurunan pendapatan cukai karena ada perubahan sistem penarikan atau simplifikasi, itu bisa berbahaya bagi daerah. Pembangunan dan daerah bisa terbengkalai,” tutur Candra.
Mantan ketua dekan Fakultas Ekonomi Bisnis perguruan tinggi negeri se-Indonesia ini menyampaikan, sistem penarikan cukai yang terdiri 10 tier didasarkan atas PMK 156/2018 ini sudah cukup ideal. Lewat sistem ini, target penerimaan cukai tercapai.
“Dengan pengelompokan yang ada sekarang, hingga Juli 2019, target cukai tembakau dari Rp159 triliun sudah tercapai Rp130 triliun. Target 2020 mencapai sekitar Rp170 triliun akan tercapai. Jadi kalau sudah bisa nyumbang sebanyak itu, mau diapain lagi? Ini sudah mendekati 100% kok targetnya, apa masalahnya? Kenapa sistem yang sudah baik, target sudah tercapai, kok diganggu-ganggu,” tanya Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur ini.
Candra mengaku khawatir, jika sistem penarikan cukai yang sudah baik ini diubah melalui mekanisme simplifikasi, dari 10 tier menjadi 5 tier, akan terjadi pengelompokan, yang semula pabrik rokok kecil membayar pajak atau cukainya kecil sesuai jumlah produksinya, dikelompokkan ke dalam kelompok yang ada di atasnya, sehingga harus membayar cukai yang lebih banyak di luar jumlah produksi dan di luar kemampuannya.
"Ini yang kemudian akan mematikan industri rokok kretek terutama yang dikelola oleh para pengusaha atau pabrikan kecil. Jika pabrik pabrik rokok rakyat menengah dan kecil mati, maka akan mengurangi pendapatan negara dari cukai tembakau, menutup kesempatan kerja bagi masyarakat di daerah, mengurangi dana bagi hasil cukai tembakau buat pemerintah daerah dan mematikan perekonomian masyarakat daerah yang selama ini bergantung pada industri rokok," papar dia.
Prof Candra menyarankan, agar para pejabat kementrian keuangan khususnya pejabat Badan Kebijakan Fiskal, mengunjungi daerah daerah yang memiliki banyak pabrik rokok rakyat, perkebunan tembakau Bertemu dengan para petani, buruh dan dan pengusaha rokok kecil.
Dari situ akan melihat dampak positif dari adanya industri rokok rakyat bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Jangan hanya mengambil keputusan berdasarkan kajian kajian dari satu pihak saja.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy