jpnn.com - JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, Doktor Putu Gede Arya Sumertha Yasa mengatakan sistem proporsional terbuka pemilihan calon legislatif lebih menghadirkan semangat individualis akibat praktik pasar bebas yang terjadi, ketimbang iklim musyawarah dalam menghadirkan wakil rakyat mumpuni sebagaimana Sila Keempat Pancasila.
Menurut Doktor Putu Gede, fenomena caleg-caleg terpilih karena popularitas dan banyak uang merupakan realita yang terjadi dan tidak dapat dibantah, sehingga kerap kali dalam rekrutmen caleg, kemampuan untuk memperjuangkan hak rakyat tidak menjadi ukuran prioritas.
BACA JUGA: Pakar Ungkap 2 Kelemahan Pemilu Proporsional Terbuka
“Bayangkan saja, caleg yang memiliki kualifikasi mumpuni dari aspek intelektual selalu kalah dengan caleg yang mengandalkan modal besar, bahkan ironinya dari pemilu ke pemilu biaya yang dikeluarkan caleg makin mahal," ujar Putu Gede kepada media, Kamis (5/1).
Disamping itu, lanjut dia, realita menunjukkan bahwa kader partai yang mumpuni yang selama ini ikut bersama-sama menjalankan roda organisasi kepartaian dalam menjalankan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, serta ikut membangun etika dan budaya politik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seringkali dikalahkan dengan calon yang punya banyak uang.
BACA JUGA: Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka Membuat Masyarakat Antipartai
Menurut Putu Gede, tentunya ini jauh dengan semangat nilai musyawarah yang dikehendaki oleh pendiri bangsa Indonesia.
Dia menyebutkan karena sistem proporsional terbuka menghendaki persaingan sebebas-bebasnya, maka berdampak pada ruang-ruang perselisihan antarcalon legislatif termasuk di internal partai makin mengeras.
BACA JUGA: Ahli Hukum Tata Negara Nilai Sistem Proporsional Terbuka Berbiaya Mahal
Lambat laun, lanjut dia, kerapuhan partai-partai politik dapat terjadi akibat kuatnya individual bermodal di tubuh partai.
“Pada akhirnya tujuan dari partai politik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan untuk turut andil dalam pembangunan negara bisa terhambat,” kata Putu Gede Arya Sumertha Yasa.
Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang melakukan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terkait sistem proporsional terbuka.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Apabila judicial review itu dikabulkan MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.
Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan.
Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi