Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka Membuat Masyarakat Antipartai

Rabu, 04 Januari 2023 – 17:15 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Agus Riewanto menilai sistem proporsional terbuka pada pemilu atau berbasis caleg memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Agus Riewanto menilai sistem proporsional terbuka pada pemilu atau berbasis caleg memiliki kelemahan.

Kelemahan tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pemilu 2009, 2014, dan 2019 yang menerapkan sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

BACA JUGA: Ahli Hukum Tata Negara Nilai Sistem Proporsional Terbuka Berbiaya Mahal

Pertama, kata dia, sistem itu melemahkan kedekatan masyarakat dengan partai politik tertentu atau Party ID.

“Party-ID merupakan perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi,” ujar Agus saat dihubungi, Rabu (4/1).

BACA JUGA: Ahli Hukum Nilai Sistem Proporsional Terbuka Lahirkan Politik Uang dan Korupsi

Agus Riewanto mengutip hasil survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021.

Survei menunjukkan identitas kepartaian terhadap masyarakat Indonesia sangat rendah.

BACA JUGA: Arief Poyuono Setuju Proporsional Tertutup di Pemilu 2024, Menghemat Biaya

Bahwa 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak ada kedekatan dengan partai politik tertentu.

Hal ini menunjukkan sentimen terhadap partai rendah sekali. Kalau sentimen terhadap partai baik, pemilih akan merasa diwakili oleh partai.

Demikian pula hasil survei nasional Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan lemahnya party-ID di Indonesia.

Dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menemukan 67,3 persen pemilih tidak ada ikatan Party-ID. Pemilih yang menyatakan ada ikatan Party-ID hanya 23,8 persen.

Selain melemahkan Party-ID, persoalan kedua yang disebabkan oleh sistem proporsional terbuka melahirkan fenomena antipartai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia.

“Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya, sehingga pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai,” ujar Agus.

Dampak buruknya, lanjut dia, pemilu hanya bergantung pada figur atau kandidat atau calegnya.

"Pemilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang bukan pada kesamaan Party-ID,” tutup Agus.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan. (tan/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 5 Poin Pernyataan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah Soal Sistem Proporsional Tertutup, Silakan Cermati!


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler