jpnn.com - JAKARTA – Masih sangat sedikit siswa miskin yang memanfaatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Penyebabnya karena mekanisme pembagian dan pencairan dana bantuan yang kurang pas.
BACA JUGA: Kabar Baik bagi Dunia Riset
Sampai kemarin (15/9), baru 2,7 juta siswa dari 17,9 juta sasaran KIP yang mencairkan uang.
Artinya, lebih dari 15 juta pemegang KIP belum bisa manfaat program unggulan Presiden Joko Widodo itu.
BACA JUGA: Wuihh, Kemendikbud Gandeng Perusahaan Swasta
Perkembangan pelaksanaan program KIP itu disampaikan Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Yudistira.
Dia mengakui pemanfaatan uang KIP masih sangat kecil. ’’Kita akan koordinasi dengan pihak perbankan yang bertugas menyalurkan uang KIP,’’ tuturnya dalam diskusi program KIP di Jakarta kemarin (15/9).
BACA JUGA: Usulkan 560 Guru Ikut Sertifikasi tapi...
Yudis memaparkan, di antara target penerima KIP 17,9 juta, kartu yang terbagi adalah 10,2 juta . Namun saat dilihat dari pemanfaatannya, uang KIP ternyata masih dicairkan oleh 2,7 juta siswa.
Pria yang akrab disapa Yudis itu memaparkan perlu ada percepatan dalam pemanfaatan atau pencairan uang KIP itu.
Dia tidak ingin KIP itu sebagai kartu penanda anak itu berasal dari keluarga miskin atau yang berhak saja. ’’KIP belum berfungsi seperti kartu ATM yang diharapkan pemerintah,’’ tandasnya.
Yudis menjelaskan besaran unit cost KIP berbeda-beda tiap jenjangnya. Untuk SD sebesar Rp 450 ribu per tahun.
Kemudian jenjang SMP sebesar Rp 750 ribu per tahun dan SMA/SMK Rp 1 juta per tahun.
Tujuan pemberian uang ini adalah untuk menekan angka putus sekolah. Kemudian juga untuk menarik lagi anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah supaya bersekolah.
Supaya bisa segera mendapatkan aliran dana KIP, anak-anak pemegang kartu harus secepatnya melapor ke sekolah masing-masing.
Kemudian oleh operator teknis data pokok pendidikan (dapodik), akan dilakukan perekaman data. Setelah data masuk ke server pemerintah pusat, uangnya baru disalurkan ke KIP.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan Mathodah mengatakan banyak sekali penyebab minimnya penyaluran kartu KIP di lapangan. ’’Ada orang yang bingung KIP itu mau diapakan,’’ jelasnya.
Penyebabnya adalah, kartu itu tiba-tiba datang ke rumah sasaran tanpa ada penjelasan yang mencukupi. Kalaupun ada tulisannya, banyak yang tidak memperhatikan.
Mathodah mengusulkan supaya pemerintah mengubah skema pendistribusian KIP.
Yakni penyaluran KIP melalui dinas pendidikan kabupaten/kota. Kemudian ke sekolah baru setelah itu ke siswa. ’’Ini usul. Syukur jika dibolehkan,’’ katanya.
Dengan skema itu tidak perlu bekerja dua kali. Setelah kartu tiba di sekolah, langsung diberikan ke anak bersangkutan.
Setelah itu langsung digiring untuk perekaman dana di Dapodik. Perkara ada KIP yang anaknya belum sekolah, bisa dikoordinasikan dengan perangkat desa atau kelurahan.
Pada intinya penyaluran uang untuk siswa yang sudah bersekolah, jangan sampai terlambat gara-gara menunggu anak-anak yang belum bersekolah. Apalagi saat ini sudah pertengahan semester ganjil.
Idealnya uang KIP itu bisa dicairkan di awal tahun ajaran baru. Supaya bisa digunakan untuk keperluan langsung seperti buku, tas, dan sejenisnya. (wan/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri Baru Rombak Kurikulum SMK
Redaktur : Tim Redaksi