Aulia Risma Lestari, dokter berusia 30 tahun, ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Semarang, bulan lalu. Kasusnya membuat 'bullying' di kalangan dokter muda jadi sorotan dan lebih banyak dokter yang menceritakan pengalamannya.
PERINGATAN: Berita ini mengandung cerita yang membuat Anda tidak nyaman. Segera hubungi bantuan profesional jika membutuhkannya.
BACA JUGA: Di Balik Gelombang Pembangunan Masif di Bali
Aulia adalah peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi, Universitas Diponegoro Semarang yang diduga meninggal karena perundungan.
Sejumlah media di Indonesia melaporkan Aulia diduga bunuh diri, sementara Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto menyebut bukti perundungan sangat banyak, seperti yang dikutip Metro TV.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Lagi-Lagi Donald Trump Jadi Sasaran Percobaan Pembunuhan?
Pada Jumat 13 September, Fakultas Kedokteran Undip mengakui adanya perundungan dan pemalakan di lingkungan PPDS.
Dekan FK Undip Yan Wisnu mengatakan pada semester pertama, mahasiswa PPDS anestesi Undip diminta untuk membayarkan iuran sebesar Rp20-40 juta.
BACA JUGA: Peserta PPDS Undip Dipanggil Polisi soal Perundungan Dokter Aulia
Menurutnya mayoritas uang tersebut digunakan untuk keperluan konsumsi di samping menyewa mobil dan kos selama menjalani PPDS.
Ia juga menyampaikan permohonan maaf dan meminta izin agar universitas tersebut bisa menjalankan kembali program dokter spesialis.
Menurut survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan soal kesehatan mental peserta PPDS ditemukan 41 persen dari 12.100 dokter muda mengalami gejala depresi minimal dan 16 persen alami gejala depresi ringan.
Survei cepat yang dilakukan bulan Juli lalu juga menemukan 0,6 persen memiliki gejala depresi berat atau yang punya keinginan melukai dirinya sendiri atau bunuh diri, seperti yang dijelaskan dr. Siti Nadia Tarmizi kepada Kompas TV.
Didi, seorang dokter residen atau peserta PPDS di salah salah satu universitas terbesar Indonesia, baru mengikuti survei serupa.
Didi, yang meminta identitasnya dirahasiakan karena alasan pribadi, mengatakan tidak pernah menjadi korban perundungan tapi menurutnya program spesialis dokter memiliki "masalah senioritas".
"Walaupun secara umur saya lebih tua, dan ya kalau misalnya seniornya bisa semena-mena," ujar Didi kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Memang di per-PPDS-an ini kan enggak memandang umur."
Pengalaman senioritas yang pernah dialami angkatannya kebanyakan dalam bentuk perkataan atau tingkah laku yang "kekanak-kanakan."
"Memang secara tradisi atau budaya kali ya, di kedokteran? … Jadi senior itu yang paling baik, paling benar, paling enggak salah, dan ada beberapa orang enggak bijak yang bisa jadi menekan."
Dugaan kasus perundungan di kalangan dokter muda bukanlah hal yang baru, menurut data yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono.
Ada sekitar 300 temuan kasus dugaan perundungan dalam PPDS di sejumlah universitas di Indonesia.
Dante mengatakan angka tersebut diperoleh dari sekitar 1.000 kasus yang dilaporkan ke Kemenkes.
Dokter Cahyo Ariwicaksono, urolog di RSUP Dr Johannes Leimena Ambon yang mengikuti PPDS pada tahun 2016-2021, mengatakan residen "keras" karena siswa harus turut menangani pasien yang sewaktu-waktu dalam keadaan genting.
"Dan dalam menangani pasien kita tidak mentolerir kesalahan, maka kita harus keras memastikan semua pasien pasien dapat ditangani dengan baik," katanya.
Tapi, menurutnya selama instruksi yang diberikan nantinya "memiliki manfaat ketika lulus", perilaku yang bersangkutan tidak termasuk dalam kategori perundungan.Beda tipis perundungan dan disiplin
Dokter Cahyo mengatakan selama menjadi dokter residen tidak mengalami perundungan, karena institusinya memiliki sikap tegas.
Namun saat sudah menjadi dokter spesialis, ia mengaku terkadang "tidak sadar" melakukan hal yang mungkin bisa dianggap sebagai tindakan perundungan kepada dokter residen peserta PPDS.
Ia mencontohkan ketika sedang ada tindakan di kamar operasi, dokter spesialis meminta dokter residen untuk mendorong alat tambahan USG dari ruangan lain.
"Di sudut pandang senior, 'oh ya itu biasa, dulu juga waktu dia junior hal itu dilakukan demi pelayanan berjalan.' Di sudut pandang junior, 'apa ini? Kan bukan jobdesk saya dorong-dorong USG'," ujarnya mencontohkan.
Ia mengakui perilaku terhadap dokter residen bisa "kelewatan", namun ia mengatakan hal ini tidak terjadi di semua institusi.
Dokter Prijo Sidipratomo, dosen di Program Studi Sp-1 Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan perundungan harus dipisahkan dengan pendisiplinan.
"Kalau yang berkaitan dengan disiplin atau keselamatan pasien menurut saya ini disiplin. Tapi kalau tidak ada urusannya dengan itu bullying," katanya.
"[Misalnya] kalau dia disetrap karena dia bikin kesalahan dan disetrapnya itu ... masih berkaitan dengan disiplin sehingga dia paham dengan pekerjaan dia, itu saya kira bukan bully."Tantangan dokter muda
Menurut dokter Prijo peserta PPDS jadi kelompok mahasiswa paling rentan dalam sistem pendidikan kedokteran.
Beberapa dari mereka harus mengeluarkan biaya studi sendiri, sebagian juga harus melewati jam kerja yang panjang.
"[Misalnya] anestesi operasi di rumah sakit itu kan yang namanya operasi darurat itu kan ada terus, belum lagi yang terjadi di UnDip ini menyebabkan kegaduhan ini karena rumah sakitnya sendiri membuka kamar operasi dua puluh empat jam," katanya.
"Bukan hanya gawat darurat loh. Kamar operasinya dibuka 24 jam alasannya untuk menurunkan angka waiting list yang untuk dioperasi."
Tuduhan kamar operasi 24 jam juga pernah dilayangkan oleh dr Zainal Muttaqin, seorang Guru Besar Bedah Saraf FK Universitas Diponegoro Semarang dalam video Youtube.
Dalam video tersebut dr Zainal menuduh RSUP Dr Kariadi membuka layanan kamar bedah 24 jam untuk meningkatkan jumlah pendapatan.
"Sumber pendapatan RS terbesar selain dari farmasi obat-obatan adalah kamar bedah. Sehingga munculah surat edaran itu. RS Kariadi adalah tempat di mana ada 1.055 orang PPDS UNDIP," ujar dr Zainal dalam siaran tanggal 8 September 2024 tersebut.
Pihak RSUP Dr Kariadi membantah tuduhan ini, seperti dikutip Detik.
"Lihat dong masyarakat kalau ada kegawatan ke mana, operasi pun sama ada yang buka 24 jam, jadi bukan overload ya," jelas Manajer Hukum dan Humas RS Kariadi, Vivi Vira Virdianti.
Dokter Prijo mengatakan ia tidak dapat membayangkan kondisi dokter residen yang tidak dibayar, tapi tetap harus stand by di ruang operasi dalam jangka waktu yang lama.'Sistem yang salah'
Sejumlah dokter mengatakan perundungan tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
"Itu berdiri di atas satu sistem yang salah," ujar dokter Prijo.
Salah satunya karena 'mandatory spending' negara tidak cukup untuk menjalankan PPDS, termasuk kebutuhan makan para dokter.
"Ada yang ketambahan itu tadi sampai belikan makanan itu semua gara-gara mandatory spending juga tidak ada," katanya.
Ia mengatakan sistem di Indonesia harus mengikuti di luar negeri, di mana dokter muda peserta PPDS dibayar dan sudah dianggap sebagai pegawai rumah sakit, serta program internship yang dibayar.
Beberapa institusi memang menyediakan tunjangan, namun seringkali dianggap tidak cukup.
Menurut dokter Prijo, sistem yang tidak mendukung ini bisa menimbulkan perundungan, senada dengan pendapat dr Cahyo.
"Kalau kita mau memutus perundungan ini harusnya ada keseragaman yang diatur pemerintah," kata dr Cahyo.
"Keseragaman residensi harusnya dari Sabang sampai Merauke … kayak dia sebagai pekerja [yang dibayar], kalau dia pekerja akan ada aturan yang mengikat dia."
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dipolisikan soal Perundungan PPDS Undip, Ini Reaksi Menkes Budi